Oleh Restu A Putra*
--Pernah dimuat Harian Sumut Pos, 15 Januari 2012
Katya, adalah Tentang Pagar
(1992, Cerita-cerita di depan pagar, sebelum petang menjelang)
Demi
menghargai perasaan cinta yang semakin bunga bermekaran, aku rela
mendengarkanmu. Di suatu sore di depan pagar. Mengapa kamu begitu
percaya padaku, Katya. Apa pun yang kamu ceritakan, aku rela
mendengarkanmu. Tentang luka-lukamu. Tentang kemuakan-kemuakanmu.
Tentang apa yang kamu anggap omong kosong. Betapa menyenangkan
mendengarkan cerita-ceritamu. Semisal saat kamu menanyakan padaku,
mengapa kita harus mengikuti aturan-aturan, sedang sejak lahir kita
bebas menangis dan tertawa. Atau saat kamu dengan girangnya menceritakan
padaku bagaimana cara-cara ayahmu mengkhianati pimpinannya,
bawahannya, sahabat-sahabatnya, orang-orang kepercayaannya di kantor
dinas tempat ayahmu mengabdi dan bekerja. Juga ibumu.
Kamu belum tahu politik, Katya! kata-kata itu yang selalu terngiang di telingamu, bukan? Lalu lagi-lagi kamu menceritakan segala luka-lukamu di rumah, di kamar, di ruang makan, di dapur, di halaman belakang, di garasi. Luka ketika tiba-tiba belakangan ini ayahmu kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas. Dan aku semakin harus menyiapkan telinga untuk mendengar semua itu. Di suatu sore di depan pagar rumahmu. Sebelum petang menjelang. Bukankah kita memiliki banyak tempat?
****
“Antonio, apa alasanmu mencintaiku?”
“Aku tak pernah punya alasan.”
“Berarti kamu tak punya tujuan.”
“Apa salahnya.”
“Sepertinya kamu lebih senang terombang-ambing di lautan.”
“Bukankah itu menarik?”
“Berarti kita berbeda.”
“Bukankah itu menarik?”
“Aku tidak suka.”
“Kamu berharap kita sama?”
“Ya.”
“Sosialis!”
“Ah, masa iya?”
Satu
minggu. Dua minggu. Satu bulan. Setengah tahun. Aku mencintainya. Dan
ia mencintaiku. Lalu apa perlu mencintai dengan teori-teori, dengan
alasan-alasan? Tanpa teori-teori pun perasaan-perasaan kita sudah
kadung mencintai. Apa perlu kita mengurek-urek Marx, Hegel atau Kant
demi perasaanmu kepadaku. O Katya, sudahlah, kita lupakan
alasan-alasan. Aku sudah cukup nyaman bersamamu. Dan kamu pun begitu
tentunya. Bedakanlah pengalaman-pengalaman lukamu, kemuakanmu dengan
perasaan mencintaiku, Katya. Cukuplah teori-teori yang kamu dapatkan
itu hanya untuk menghadapi ayahmu. Kenyataanmu. Bukan aku.
“Bukankah
dengan teori kita bisa tahu benar tidaknya pengalaman?” Katamu suatu
waktu di depan pagar, pada pertemuan keseribuduapuluh.
“Pengalaman-pengalaman
tidak mencari pembenaran, Katya. Pengalaman hanyalah pembebasan dari
dirimu sendiri. Seperti deretan pagar ini,”
Aku tiba-tiba
menyaksikkan jajaran jeruji pagar yang tinggi-tinggi ini seperti
menyimak pembicaraanku yang bertahan limabelas menit berdiri di depan
pagar rumahnya. Pagar-pagar tinggi dengan ukiran bagai arca
candi-candi. Aku percaya orang-orang tak mungkin tahu ada sepasang
kekasih yang sedang asik berbicara di antara deretan pagar yang
jangankan aku, rumah tinggal sebesar istana ini pun aku berani bertaruh
orang-orang tak akan tahu seperti apa bentuknya.
“Deretan pagar? Apa Maksudmu?”
****
(1993, Surat-surat yang terselip di jeruji pagar)
Dan
alasan mengapa kita saling mencintai tak pernah ada. Hanya
surat-surat. Aku hanya menjalani hari-hari bersamamu. Di taman. Di
rumah. Di pusat perbelanjaan. Di perpustakaan. Kedai kopi. Trotoar.
Jembatan penyeberangan. Kamar tidur. Ranjang. Sampai semuanya berakhir
dengan ketiadaan. Padahal aku hanya percaya pada yang “ada”. Namun semua
itu ternyata omong kosong belaka. Tak ada lagi deretan pagar. Tak ada
lagi kebersamaan. Tak ada lagi dia. Katya. Aku kehilangannya. Aku
meyakini ketiadaan. Tapi sungguh, dengan amat terpaksa. Ada apa gerangan
dengannya. Apakah ayahnya kini telah memingitnya dariku. Atau
mengungsikannya ke negeri lain. Atau, membunuhnya?
Antonio,
kamu berjalanlah menuju rumahku. Maka kamu akan menemukan aku ada.
Kali ini percayalah akan keberadaanku walau di sana kamu akan menemukan
ketiadaan. Tapi, kamu tahu kan, jeruji-jeruji pagar itu. Ukiran-ukiran
pagar yang pernah kamu ceritakan itu. Bagai arca candi-candi. Mungkin
menceritakan kita. Ah, tapi tidak mungkin. Ayah sangat membenci kita,
tepatnya, pikiran-pikiran kita, perasaan-perasaan yang tumbuh di hati
kita. Aneh ya, ia juga seperti kamu. Hampir mempercayai ketiadaan. Tapi
ya begitulah. Sudah saatnya kita tak selalu berpikir pada materi. Lalu
secarik surat yang kali ini akan selalu terselip di sela-selanya, saat
matahari tenggelam, percayalah bahwa aku ada. Menjauhlah dari teriakan
ayah.
Oh, aku membaca lagi surat-surat yang
terselip di sela pagar rumahnya. Surat yang kesembilanpuluhtujuh. Ia
menceritakan luka-lukanya lagi, kemuakan-kemuakannya, sebagaimana ia
bercerita padaku di depan pagar, berhadap-hadapan, sebelum petang
menjelang. Padahal, selama sembilanpuluhtujuh kali aku membaca isi
surat yang sama. Maksudku, ia selalu membuka ceritanya dengan kalimat
pembuka yang sama seperti di atas. Seakan ingin meyakinkanku bahwa ia
ada dan akan selalu aku temui, meskipun dalam surat-suratnya, meskipun
aku tak pernah membalasnya. Tepatnya ia melarangku membalasnya. Aku
hanya dipaksa rela membaca dan menyimak kisah-kisahnya. Bahkan untuk
sekedar ingin tahu mengapa aku tak boleh menemuinya pun ia melarangku.
Bayangkan, betapa menyakitkannya bukan?
Pernah aku ingin
nekat masuk ke dalam rumahnya yang besar itu namun sehari sebelum
rencanaku berjalan, surat yang terselip di sela pagar rumahnya seakan
tahu isi kepalaku. Antonio, kalau kamu percaya aku ada, bertahanlah! Surat yang teramat singkat dari sekian surat-surat yang pernah ia buat. Surat ketujuhpuluhlima. Sial!
****
(1993, Surat-surat di penghujung tahun)
Aku
hampir mual hanya berurusan dengan surat-surat ini. aku butuh sesuatu
yang riil. Bukankah hidup ini tindakan nyata. Bukan sebatas teori atau
cerita-cerita. Bukankah itu yang selama ini kupelajari dan mantap
kuyakini. Tiada sesuatu selain yang kuanggap nyata dipandang mata.
Keadilan, kebenaran, penindasan, penderitaan adalah manifestasi dari
kenyataan. Kenyataan!
Lalu kali ini, surat kesembilanpuluh delapan. Oh please, aku hampir gila!
Antonio,
maukah kamu menjawab pertanyaanku? Kali ini aku memperkenankanmu untuk
membalas suratku, dan aku akan menunggumu untuk membalasnya. Selipkan
saja pada deretan pagar rumahku.
Masih mendekam dalam
ingatanku filosofi pagar yang pernah kamu utarakan padaku saat itu,
satu tahun lalu, saat kita bicara alasan dan teori mengapa kita saling
mencintaimu dan kamu menafikannya. Tapi sungguh aku belum memahaminya
sampai saat ini. mengapa kamu menganalogikan begitu?
Aku menunggumu Antonio, kekasihku.
****
Kamarku
berantakan. Dengan sungguh-sungguh aku menuliskan surat balasan
untuknya. Baru kali ini aku diberi kesempatan menulis surat untuknya.
Maka bagai seorang penyair yang sedang kalap aku menulis sebuah surat
dengan perasaan seperti menyala. Gairahku terbakar. Seisi kamar ikut
terbakar. Isi kepalaku muntah. Dan pada kertas keduapuluh aku bisa
benar-benar menyelesaikan surat untuknya. Setelah kertas-kertas
sebelumnya berakhir di keranjang sampah. Perutku mual. Mataku mau pecah.
Sebab seharian ini nyaris lambungku tak terisi apa-apa kecuali seteguk
kopi yang hingga detik mala mini mulai dingin. Aku seperti kerasukan
nyawa Shakespeare. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku
benar-benar ingin melampiaskan segalanya. Aku ingin kenyataan.
Pagar
rumahnya sudah dekat. Jalanan sepi. Aku seperti dikepung kastil-kastil
tua. Rumah-rumah yang kulewati di komplek ini menyalakkan matanya
kepadaku. Aku memang sudah terbiasa melewati jalanan sesepi ini menuju
rumah Katya. Tapi tak pernah sedingin ini. apa sebenarnya yang
dilakukan penghuni rumah malam-malam begini hingga suara seriuh pun tak
kudengar sama sekali.
Dan di depan mataku itu. pagar
rumah Katya. Bagai ukiran arca candi-candi. Apakah aku harus masuk ke
rumahnya. Lewat jendela kamar mungkin, seperti lelaki muda yang tengah
jatuh cinta lalu menjemput kekasih hatinya untuk dibawa lari. Tapi,
tunggu, tunggu! Kenapa ada secarik surat lagi di sela pagar rumahnya.
Bukankah ia katakan hanya ingin menunggu balasan dariku?
Antonio,
kamu sudah menulis surat balasan untukku kan? Aku yakin itu. Tapi
maaf, kamu tidak akan pernah bertemu aku lagi. Dan yang kamu kunjungi
saat ini juga bukanlah aku. Biarlah aku yang akan mengunjungimu selalu.
Kamu sudah mempercayai ketiadaan, bukan. Apa-apa yang kamu yakini,
seperti surat ini, percayalah aku ada. Ayo, sudahlah, memang benar
kita tak perlu banyak berteori untuk urusan perasaan. Aku mencintaimu.
Titik. Itu saja.
Makin mual aku dengan surat-surat
ini! Lalu kutatap surat balasan yang kubuat. Tak ada artinya. Surat itu
kuremas. Kulempar jauh-jauh dan entah jatuh di mana. Apa maksud semua
ini. Apa maksudmu, Katya.
Malam semakin gelap. Gelap.
Gelap. Komplek ini seperti kuburan. Sangat gelap. Dan sepi. Dengan
segera aku pulang bersama amuk amarahku. Meninggalkan rumah itu, juga
pagar di situ. Katya seperti telah mempermainkanku. Kenyataannya
membuatku gila. Persetan aku dengan ketiadaan. Ia memang benar-benar
tiada.
Tiba di kamar. Kubakar semua surat-suratnya. Habis.
Hangus. Menjadi arang. Menjadi abu. Dan tak kan pernah kulihat lagi
wajahnya. Surat-suratnya. Tiada. Semua hangus terbakar.
Seperti
pagar, Katya. Kamu harus punya prinsip kuat seperti pagar, yang bisa
melindungi rumah melebihi pagar itu sendiri. Kita nyaman karenanya.
Pagar yang kokoh meskipun hanya bilahan bambu terpotong-terpotong dan
diikat serabut. Oia Katya, aku prihatin membaca luka-lukamu,
kemuakannmu. Kalau kehidupanmu memang nyata, surat-surat yang kau
kirimkan padaku ini akan kujadikan bukti untuk menolongmu Katya. Juga
tentang ayahmu.
--Antonio, kekasihmu
****
(1994, Di depan pagar, setelah surat-surat)
“Katya!
Katya! Ayo kita berangkat sebelum ketinggalan pesawat. Cepat kemasi
barang-barangmu. Celaka kalau kita terlambat, mereka akan menangkap
kita!”
Dari pintu garasi Ayah memanggilku sambil
menyeret-nyeret koper ke bagasi mobil. Aku melihat wajah ketakutannya,
menyaksikan kebusukan-kebusukannya. Kita tidak akan ke mana-mana, Ayah.
Kita tetap akan di sini, bersama kenyataan.
Biarkan saja
gerimis mengguyurku sampai kuyup, asal jangan surat-surat ini. Aku
membayangkan wajahnya. Antonio. Mengapa kamu tak pernah datang. Aku
menunggu jawaban-jawabanmu. Apa kamu tidak melihat surat-suratku, hah?
Haha, mengapa aku begitu bodohnya. Aku sudah menghitungnya sampai tiga
kali, tidak ada yang kurang. Surat-suratku masih lengkap. Masih
sembilanpuluhsembilan. Oh salah, ini ada surat yang keseratus.
Keseratus? Loh, bukankah sudah kubuang jauh-jauh entah ke mana.
Bulir-bulir
gerimis menimpaku terus-menerus. Semakin kencang. Menembakiku. Menjadi
hujan. Dengan tergopoh-gopoh aku menuju pintu rumah. Meninggalkan
pagar. Dan, oh tidak! surat-suratku tercecer, terlepas dari tangan.
Termasuk surat yang keseratus. Aku tak bisa menyelamatkannya. Ia
terlanjur kuyup tertimpa air langit. Kata-kata di dalamnya luntur,
merembes ke tanah. Mengapa kamu tidak datang mengambil surat-suratku,
Antonio? Atau kamu memang benar-benar tidak ada?
Aku berlari. Terus berlari. Menembus hujan. Menembus ketiadaan.(*)
* Restu A. Putra berprofesi sebagai wartawan di Pasundan Express pernah berkuliah di jurusan Jurnalistik UIN Bandung. Hobinya menulis (puisi, esei dan cerpen), tulisannya pernah beberapa kali dimuat di koran lokal di berbagai daerah di Indonesia. Dan kini masih tetap bergiat menulis dengan tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar