Karya-karyanya adalah sayup
suara di rumah-bahasanya sendiri
Fahri Salam Penulis
lepas
Pramudya Ananta Toer |
Sujiyati mengajar bahasa Indonesia kelas tiga SMU Negeri 3
Yogyakarta di bilangan Kota Baru. Dia berusia paruh baya, kulit hitam coklat,
senada dengan setelan jas dan pantolan hitam keabu-abuan yang dia kenakan saat
saya menemuinya awal Mei 2006. Kami duduk di kursi kayu berlapis busa di hall
depan.
Sujiyati tampak serius menanggapi nasib kepengarangan Pram. Dalam kurikulum sastra yang dikenalkan kepada siswa sekolah menengah, nama Pram tak sekalipun tercatat, sebagai referensi maupun ujian. Hanya karena minat khusus Sujiyati serta inisiatif sendiri, nama Pram terlontar di ruang kelas. Sujiyati juga minta siswa membaca karya Pram.
“Pram” dan “komunis”. Pelabelan yang masih menghuni alam bawah
sadar orang ramai Indonesia hingga kini. Lebih memerlihatkan borok-borok rezim
Soeharto yang sengaja ditutupi lewat pengetahuan sejarah monologis.
Melalui buku-buku pendidikan sejarah ke ruang-ruang belajar
sekolah, dikendalikan secara terpusat oleh apa yang kerap disebut Pram “kaum
elit Jawa” di Jakarta, Pram tak lebih sosok invalid di negerinya sendiri.
Dia satu dari golongan anak
manusia Indonesia yang diasingkan ke kamp konsentrasi Pulau Buru sebagai
tahanan politik. Dia juga satu bagian penting yang selamat dari 500,000 (ada
yang menyebut 3 juta) warga yang tewas dibunuh menjelang tampuk kekuasaan
beralih ke rezim Soeharto pada 1965. Lalu setelah 10 tahun mendekam di
pengasingan dari 16 Agustus 1969, atas pantauan dan tekanan politik masyarakat
internasional, dia kembali ke Pulau Jawa, pulang ke keluarganya sejak 13
Oktober 1965, dan seperti dikatakan dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian, ”Saya
kembali ke negeri yang sudah tidak karuan akan dibawa ke mana.”
Pram bebas tapi dalam batas
yang semu. Bertahun-tahun, bersama bekas tahanan politik lain, Pram dilarang
leluasa bersuara. Sensor politik dan sosial. Tak mendapat tempat utuh di media mainstreamJakarta. Dia masuk ke peti mati bersegel “komunis”.
Dengan gampang memberi cap “komunis” ini pula, juga pada kelompok
aktivis oposisi orde bangkrut Soeharto, karya-karya Pram bernasib gelap.
Hanya butuh saat tepat
mesin-mesin kekuasaan Soeharto disetel menjalankan alat kontrol represif. Pram
mengatakan kontrol ketat gaya Soeharto, dalam konsep bahasa Jawa, dikenal
sebagai tepo sliro. Ini eufemisme dari bentuk Jawa kromo.
Dalam Sastra, Sensor, dan Negara: Seberapa Jauhkah Bahaya Novel? [esai
dia untuk Ramon Magsaysay Award, 4 September 1995 di Manila], pengertian tepo sliro, ”dalam kehidupan kekuasaan sekarang dinamai
dengan bahasa Inggris self-censorship.”
Sensor berwatak feodalisme
itu ialah rujukan Pram atas persekusi terhadap diri dia sebagai individu dan
pengarang. Sewaktu Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa terbit pada 1980 oleh penerbit
Hasta Mitra, buah kreativitas mencengangkan dari Buru dan kemunculan karya
perdana Pram sejak 1965, pada 29 Mei 1981 Jaksa Agung melarang peredaran kedua
buku itu. Nasib sama menimpa Jejak Langkah (1985)
dan Rumah Kaca (1988), empat kuplet novel yang
kemudian dikenal publik “Tetralogi Buru.”
Jaksa Agung dalam keputusannya bernomor 061/J.A/6/1988 menulis:
”Kita memandang Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan, pencipta keadilan,
tidak akan mensejajarkannya dengan Alimin, Muso, atau Aidit. Kita tidak
menganggap Pram adalah seorang komunis. Tetapi di masa dimana Alimin, Muso,
Aidit tak ada lagi dan seluruhnya telah menjadi puing agung, bukankah segala
sesuatunya perlu dimulai dari awal lagi.”
Dengan kata lain, inti keputusan sebenarnya melarang buku-buku
Pram. Tak cuma empat roman karya Buru, tapi juga membidik nasib buku-buku Pram
selanjutnya.
Tak hanya mendapat cekal
dari kejaksaan. Karya Pram, yang A. Teeuw gambarkan lewat Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer,
membikin ”dunia sastra kaget” dimana ”roman sejarah itu langsung meraih sukses
besar; dalam waktu singkat sejumlah cetakan ulang diperlukan,” mengundang
keputusan pahit dari bedinde petinggi
lingkungan sekolah. Sutanto Wirjoprasonto, Sekretaris Jenderal Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, mengeluarkan surat edaran yang melarang semua
lembaga di bawahnya, termasuk universitas, membaca dan memiliki novel Bumi Manusia.
Apa yang menjadi putusan pelarangan itu seperti ungkapan Pram
sebagai sensor gaya budaya Jawa. Lazim jika Pram bertahun-tahun kemudian
mengatakan benci sekali dengan “Jawanisme,” yakni taat dan setia kepada atasan.
”Ketika diterjemahkan ke politik,” kata Pram, ”jadilah fasisme.”
Bertolak dari sini,
karya-karya Pram, terutama Bumi Manusia dan Gadis Pantai, membongkar konsepsi betapa tak
manusiawinya “Jawanisme” itu, yang ”watak budayanya masih tetap hidup, bahkan
elit kekuasaan mencoba melestarikannya.” Sistem yang, menurut Pram, tumbuh dan
berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto. Pram tak suka memakai bahasa
Jawa di rumah yang baginya merupakan penderitan.
Masuk akal jika Pram secara
sadar membangun bahasanya sendiri. Bahasa yang, dalam ungkapan Goenawan
Mohamad, ”tiap kalimat seakan-akan pergulatan ‘aku-manusia’ yang susah payah
tapi gigih mengatasi ‘rumah-penjara bahasa’, pergulatan yang tak jarang membuat
ungkapan Pram terasa kaku tapi kukuh.” Persoalan bahasa Pram inilah kelak
sebagai salah satu sorotan Apsanti Djokosujatno dalam Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer.
Kini, setelah semuanya berlalu hampir 26 tahun sejak sensor itu,
sesudah rezim diktator Jenderal Soeharto tumpas pada 1998, dan Pram pelan-pelan
membangun sosok hero tanpa kemauan dia sendiri, secara tak langsung lantaran
pengembaraan “anak-anak rohani,” ironi masih tetap saja muncul.
Ironi tersebut tak sekadar namanya belum tertoreh dalam kurikulum
sastra sekolah, melainkan juga larangan dari departemen pendidikan atas
buku-buku dia yang belum dicabut dari aturan tertulis.
Buku-buku dia kini beredar bebas, diterbitkan Lentera Dipantara,
tanpa kena pemberangusan. Gejala serupa juga diperlihatkan pengarang mantan
tahanan politik. Ratusan penerbit partikelir berdiri dan gelombang buku yang
mengupas peristiwa 1965 terbit secara lebih terbuka dan bebas.
Namun ada satu yang
mengganjal dalam benak saya. Pram dengan reputasi kepengarangan yang diakui
dunia, karya-karya dia diterjemahkan lebih dari 39 bahasa asing, atau Benedict
Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesiamenyebutnya sebagai ”pengarang terbesar orang Indonesia”,
serasa terbentur tembok jika berhadapan dengan aparatus kekuasaan, yang tak
berlaku surut bagi pemerintah pasca-Orde Baru.
Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengatakan permintaan maaf dan
menawarkan ide rekonsiliasi. Namun, dalam wawancara dengan Tempo, 9 April 2000,
Pram menanggapinya “cuma basa-basi.”
Bagi Pram, Gus Dur mesti menempatkan lebih dulu posisi dia.
Sekalipun kapasitas sebagai presiden, Gus Dur tak bisa minta maaf begitu saja.
”Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan.
Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka
tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.”
Basa-basi ini yang tetap subur ditanam negara.
Pengarang ini masih
“di-Buru-kan” dari dinding-dinding sekolah. Dari teks kurikulum sastra dan
sejarah sekolah. Cuma satu karya Perburuan(sebuah
tjerita chajali) memeroleh penghargaan dari Indonesia, dalam cetakan kedua
Perpustakaan Perguruan Kem. P.P dan K. 1955 pada halaman judul tertulis:
‘Tjerita jang dimahkotai hadiah I Balai Pustaka 1949’.
Kondisi ini berkebalikan dengan dunia di luar tembok sekolah.
Karya-karya Pram menjadi semangat kaum oposisi. Ia menjadi kajian serius para
peneliti asing. Dia anggota kelompok pengarang internasional dan menerima
doktor honoris causa. Buku-buku dia dibaca luas oleh kalangan di luar segi
“pertukangan”sasta. Gayanya ditiru penulis muda belakangan. Dan yang perlu
dicatat adalah anak-anak muda yang bangga dengan sukarela dan sukacita menyebut
dirinya sebagai “Pramis.”
Ide-ide Pram tak pernah susut digali. Merujuk pada Tetralogi Buru,
Apsanti Djokosujatno mengatakan, ”Kita akan selalu menemukan hal baru dalam
roman bengawan monumental itu.”
Hal yang baru, dengan kata lain, berdasarkan pengalaman membaca
seseorang.
Pada siang Mei di gedung sekolah bergaya tropis, sebuah kawasan
Yogya yang menyimpan jejak arsitektur peninggalan zaman Belanda, saya datang
untuk mengetahui apa yang sudah diketahui umum, sebagai rangkaian melihat koleksi
karya Pram yang tersimpan di perpustakaan sekolah, kampus, pemerintah, dan
swasta.
Saya tanyakan kepada Sujiyati tentang pengalaman membaca karya
Pram. Dalam karya yang pernah dia baca, terutama Tetralogi Buru, Pram
memperlihatkan, dalam ungkapan Sujiyati, ”Kemampuan mengubah musibah jadi
berkah.”
PERPUSTAKAAN pusat
pemerintah daerah Yogya terletak di Jalan Malioboro. Ia terhimpit deretan toko
dan kios-kios kaki lima. Dalam katalog pengarang berinisial “TOE”, saya tak
menjumpai kartu bertuliskan Pramoedya Ananta Toer. Namun seorang petugas
mengatakan ada buku Pram. Dia menunjuk suatu rak . Petugas lain bilang
perpustakaan hanya mengoleksi dua buku, Anak Semua Bangsadan Arus Balik.
Ada katalog dua pengarang
yang dikagumi Pram: Maxim Gorky dan John Steinbeck. Pada 1950 Pram
menerjemahkan Of Mice and Men Steinbeck dan Matj [Ibunda] Gorky pada 1955. Lucunya, koleksi
karya Gorky ada sebelas. Pram cuma dua.
Kedua pengarang ini
dihubungkan satu keyakinan bahwa karya sastra mesti bertumpu pada realisme.
Pokok ini menjadi kajian Eka Kurniawan yang lantas dibukukan Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Buku Kurniawan kerap sebagai rujukan skripsi sarjana sastra tentang karya-karya
Pram.
”Saya suka realisme
sosialis, karena itu suatu realisme yang berhubungan dengan masalah
tanggungjawab sosial,” kata Pram dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian.
Situasi berbeda jika
mendatangi perpustakaan Kolsani Ignatius. Ia mengoleksi 41 buku Pram. Ada karya
terjemahan. Beberapa dari judul yang sama, cuma beda penerbit, terutama
Tetralogi Buru macam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Ia juga menyimpan buku-buku kajian.
Ada Kelurga Gerilja terbitan 1955. Perburuan (1955). Tjerita
Tjalon Arang(1957).Tempo Doeloe (1982). Arus Balik (1995). Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu(1995 & 1997). Penerbitnya dari Pembangunan,
Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Bara Budaya, Hasta Mitra, hingga Lentera
Dipantara.
Di perpustkaan Universitas
Sanata Dharma lebih kaya lagi. Jumlahnya 38 buku. Banyak terbitan sebelum 1998.
Ada Panggil Aku Kartini Sadja(1962), Mereka Jang Dilumpuhkan (1956 & 1961), Keluarga Gerilja (1955), hingga Hoa Kiau di Indonesia (1960). Buku Hoakiau bikin Pram berkenalan dengan penjara
hampir setahun pada era Soekarno.
Marsudi, wakil kepala perpustakaan, bilang kepada saya banyak
peneliti yang datang ke perpustakaan Sanata Dharma. Buku-buku Pram sempat
terkunci sewaktu pemerintah melarangnya. Ketika 90-an ada pergantian kepala
perpustakaan, dia menyarankan membuka koleksi Pram. Mereka sepakat.
”Waktu itu hanya boleh dibaca di tempat,” katanya, tersenyum.
Saya juga mendatangi
perpustakan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta. Di UGM,
sekira tujuh skripsi membahas karya Pram. Subyek karya dan analisisnya, antara
lain, Gadis pantai untuk analisis Stantonian. Sosiologi
sastra Bukan Pasar Malam dan Larasati. Segi tema, fakta cerita dan sarana sastra
untuk Anak Semua Bangsa. Strukturalisme genetik dan kritik
sastra feminis untuk Bumi Manusia.
Intertekstual plot dan tokoh untuk Drama Mangir. Ia
juga 19 buku. Sementara di perpustakaan UNY, ada 27 judul buku.
Menariknya, pada lembaran rekomendasi kajian para sarjana itu,
mereka menyarankan karya Pram dapat menjadi “bahan pengajaran sastra di
sekolah.” Mereka juga mengusulkan buku Pram “bisa menjadi koleksi di
perpustakaan sekolah menengah.”
Saya teringat acara ulangtahun terakhir Pram, 6 Februari 2006, di
Taman Ismail Marzuki. Saat itu Max Lane datang. Dia penterjemah buku-buku Pram.
Max Lane mengatakan kesempatan berkumpul, bagi para “pramis” dan pengagum karya
Pram, harusnya dijadikan “suara bersama.” Intinya, bagaimana mendorong
pemerintah agar buku-buku Pram jadi bacaan wajib sekolah dasar hingga
universitas.
“Buku Pram harus diajarkan di kelas-kelas,” kata Lane.
ST. KARTONO pengajar bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto. Dia
kolumnis pendidikan di harian Kompas. Orangnya bersahabat. Energik. Mudah
tersenyum.
Kartono termasuk penggemar Pram. Dia berkenalan karya Pram saat
mahasiswa sastra Indonesia di USD pada 80-an. Alex Sudewo, dosen yang dia
kagumi, berjasa membawanya ke pintu masuk buku-buku Pram.
Ceritanya, saat kelas
kritik sastra, dia diminta Sudewo untuk bahas tiga novel Pram berdasar garis
lokus tempat: Gadis Pantai, Larasati, danMidah Si Manis Bergigi Emas. Ini kemudian bikin Kartono
mendalami Pram sebagai kajian akhir studi sarjana. Pada 1989, dia memakai studi
perbandingan latar sosial karya Korupsi Pram
dan Ladang PerminusRamadhan KH.
Namun, dia kesulitan mengakses buku Pram. Dia mendatangi Alex
Sudewo. ”Ini kajian akademis. Saya yang menjaminnya,” ujar Kartono, meniru
ucapan Sudewo.
Kartono punya penilaian secara khusus terhadap karya Pram.
”Realisme sosialnya khas. Pram menangkap peristiwa-peristiwa sosial yang tak
ditangkap pengarang lain.”
Kini, giliran Kartono memperkenalkan Pram kepada murid-murid dia.
Pada akhir 1999, Kartono
mendapat undangan mengajar di Australia bagian selatan. Dia kaget melihat siswa
di sana membaca The Girl from the Coast [Gadis Pantai].
Ia jadi topik pelajaran di ruang kelas. Sebaliknya, kolega guru memandang aneh
kepada Kartono, ”Memangnya kenapa?” Kartono menjawab karya Pram “tak diajarkan
di sekolah kami.” Mereka lebih kaget lagi.
”Bagaimana menurut Anda jika Pram diajarkan di sekolah?”
Kartono diam sejenak, ”Harus ada pemahaman dari guru-guru. Mereka
diberi pemahaman akan konteks seorang Pram.” Secara pribadi dia setuju.
”Bagaimanapun sikap politik seseorang, dia tetap pengarang
terbesar. Pram telah banyak menyumbangkan Indonesia ke dunia internasional. Dia
dibesarkan oleh penindasan. Dia anak zaman,” tuturnya.
”Buku itu Pram sendiri. Pram itu sebagai buku itu sendiri.”
Kartono sudah jadi bagian pengikut, dari apa yang disebut Pram,
“anak-anak rohaninya”. Banyak orang yang sudah ikut barisan para Pramis ini.
Saya kira karya-karya Pram tetap mengelana dari generasi ke generasi. Namun
saya tak tahu sampai kapan negara masih menutup mata terhadap Pram.
Pengarang besar ini menutup usia pada 81 tahun, 30 April 2006. Dia
dikenal pribadi keras. Dia masih menatap pahit sejarah Indonesia. Termasuk
nasib buku-buku dia di negaranya sendiri.
”Di Indonesia orang masih saja membicarakan tentang pribadi saya,
bukan karya saya. Sebagai penulis, saya tidak selalui diakui. Banyak sekali
buku tentang karya sastra Indonesia yang bahkan tidak mencantumkan nama saya…,”
ujar Pram.***
Tulisan ini sebelumnya telah
dimuat di blog Fahri Salam, Fahri Salam dan dimuat di website http://indoprogress.com.
Dimuat ulang di sini sebagai referensi yang teramat penting..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar