Ini mungkin sebuah cerita, yang
setiap manusia mana pun pernah mengalaminya; merasakannya. Kecuali, manusia
tersebut adalah manusia yang tak berhasil keluar dari kehidupan rahim dan tak
sempat mencicipi aroma fana. Atau, manusia tersebut terlalu bersih untuk
sekedar melihat-lihat atau bermain dalam dunia warna-warni, dunia air hujan,
dunia tanah lumpur dan dunia rumput taman. Dunia yang kemudian banyak orang
dewasa sebut; Dunia Anak.
Dunia
yang ringan, dimana dunia hanya diisi oleh senang, riang-gembira. Dimana semua
adalah mainan; kertas, pensil, penghapus, sepatu, tanah, debu, Ibu guru, Bapak
guru, sekolah dan banyak hal lainnya. Sekolah adalah tempat bermain. Belajar
adalah sebuah permainan. Guru adalah teman bermain. Sedangkan aku dan
teman-teman adalah lawan bermain dari Bapak dan Ibu guru ditempat bermain.
Dunia kelanjutan dunia anak, yang kemudian banyak disebut; Dunia Bermain.
Bukan
hanya terdiri dari dua Dunia itu saja, tapi ada beberapa dunia yang
berkelanjutan meneruskan kedua Dunia tersebut. Tapi, terlalu berdarah jika juga
ikut diceritakan dalam cerita ini. Terlalu bau amis, terlalu bau busuk dan
terlalu merah, bahkan sampai pekat kehitaman; Gelap.
Oleh
karna itu, izin aku hanya menceritakkan cerita yang manusia mana pun pernah
mengalaminya - kecuali beberapa hal di atas tadi. Cerita dari dua Dunia yang
ringan, senang riang-gembira. Cerita dimana semuanya adalah tempat bermain.
Anak-anak dan Bermain.
~~
Tak
tahu tepatnya kapan, yang jelas, jika tak salah, waktu itu aku masih bocah
beringus dan bertinggi badan sepinggang orang dewasa. Kurang lebih sekitar 4
atau 5 tahun. Waktu itu aku belum bersekolah - sekolah resmi maksudnya.
Tapi jika bersekolah adalah bermain, sudah barang pasti aku bisa dibilang telah
bersekolah waktu itu. Biasanya teman-teman seumuranku waktu itu, dimasukan ke
sebuah Taman Bermain, yang kemudian baru belakangan ini aku tahu bahwa maksud
tujuan dari Taman Bermain itu adalah persiapan untuk memasuki Persekolahan
nantinya. Untung saja aku tak pernah mencicipi bagaimana rasanya Taman Bermain
itu, karna Ibu dan Ayahku tak mengijinkan. Tak jelas apa maksudnya, ketika aku
bertanya, dua-duanya menjawab dengan jawaban yang sama; "Aduh apa ya?
lupa. Udah terlalu lama sih"
Untung
saja aku tak dimasuki ke Taman Bermain oleh Ibu dan Ayahku waktu itu, karna
ternyata itu bukan tempat bermain, tapi tempat belajar, disiksa dari kecil,
dipaksa menerima ini dan itu. Padahalkan, umur 4 atau 5 tahun waktunya
anak-anak untuk bermain, bukan belajar. Eh, maksudnya, belajar mereka ya
bermain. Bukan dengan buku, pencil dan lainnya. Maksudnya, buku dan pensil
mereka adalah hujan, lumpur, taman dan berkotor-kotoran. (Begitu Ibu-Bapak Guru
Taman Bermain atau Taman Kanak-Kanak sekalian, jangan terlalu menyiksa anak
muridmu. Kasihan, jangan kalian renggut waktu bermain mereka; waktu belajar
mereka.)
Dulu,
tentu saja aku merengek, menangis jingkrak-jingkrakkan kepada kedua orangtuaku
karna ingin masuk Taman Bermain. Tapi orangtuaku entah sakti atau bagaimana,
bisa membuat merengekku hilang dan menangisku diam, hanya dengan bermain hujan.
Dulu
aku ingat, pernah disuruh bermain hujan oleh Ibuku, kira-kira waktu itu umurku
kurang lebih 5 menuju 6 tahun. Aku tentu saja bingung, tetapi Ibuku dengan tak
banyak bicara langsung menggandengku dan membawaku bermain hujan di depan
rumah. Dulu di depan rumahku ada pohon mangga dan pohon rambutan, yang buahnya
selalu kupetik dan pohonnya kupanjati. Tapi kini sudah tak ada; ditebang dan
dibangun rumah. Apakabar kalian di Alam Sana pohon mangga dan pohon rambutanku?
Jelas
saja, aku senang dan mengetahui kenapa ibuku menyuruh-paksaku bermain hujan.
Ah, entahlah bagaimana menjelaskannya, mungkin ini berhubungan dengan rasa jadi
sangat sulit sekali dijelaskan, tapi mudah jika kalian rasakan. Tentunya dulu
sewaktu kecil kalian pernah bermain hujan juga, kan?
Setelah
itu, hidupku hanya diisi oleh hujan, hujan dan hujan. Juga bermain, bermain dan
bermain. Sampai pada tiba waktunya untuk Bersekolah. (Ah, bersekolah adalah
kepingan terburuk dalam kehidupanku). Ketika waktunya bersekolah, entah kenapa
Ibu menjadi sinis, Ibu menjadi mudah marah; hanya karna jika sepulang sekolahku
dulu, baju seragamku basah dan sepatuku kotor penuh lumpur.
"Tapi
aku hanya bermain hujan, Bu"
"Sudah
Ibu bilang, pulang dulu baru boleh bermain asalkan jangan bermain hujan"
Ah malas betul. Kemudian aku baru sadar kenapa aku menjadi sangat pemalas,
karna hidup banyak dilarang. Dilarang Ibu maksudnya.
"Jika
Ibu punya cucu nanti, jangan sekali-kali melarang cucu Ibu untuk bermain hujan.
Walaupun dia sudah bersekolah dasar, menengah, atas atau tingkat tinggi sekali
pun." Aku berkata demikian kepada Ibu. Karna tak mau nanti cucu-cucunya
menjadi pemalas karna muak dilarang-larang oleh neneknnya.
Tapi,
Bu. Terimakasih telah mengeluarkkanku dengan selamat ke Dunia fana ini dan
mengenalkan ku pada Dunia Anak dan Dunia Bermain. Terimakasih telah merawatku,
mendidikku dan menamparkku sekali-kali. Maaf jika anakmu ini terlalu lancang
atau kurang-ajar. Dan sekali lagi, juga paling penting; Terimakasih telah
mengenalkkanku kepada Hujan dan bagaimana cara bermain bersamannya.
Terimakasih, Bu.
oleh Azmil R. Noel Hakim, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar