oleh : Anisa Isti
Malam
selalu memberi nuansa ketenangan. Segala hirup pikuk
yang menginap dalam fikiran, sejenak tersembunyikan. Bersandar di atas
kursi
sambil menyantap makanan, itu lebih menyenangkan. Apalagi di pinggiran
kota
besar yang mendadak sepi damai dari ribuan jiwa yang biasanya memadati
setiap
sudut keramaian. Disanalah aku memanjakan waktu senggangku.
“
Benar-benar mahal sekali makanan
ini. Tidak seperti yang biasanya ku beli. Harganya sungguh 3x lebih
mahal dari pecel
lele yang biasa ku beli di pinggir jalan kosanku” ujarku sambil menatap 1
potong fried chicken dan sebungkus nasi di atas piring kaca yang
terbaring di
meja. “iya tentu saja, ayamnya lebih besar dari yang biasa kita dapat
sebelumnya. Namanya juga restoran. Mau tidak mau kita harus terima
meskipun
dengan harga mahal. Itu resiko”. Jawab Putri, temanku, sambil melahap
nasi dan
sepotong fried chicken yang dibelinya.
Aku diam sambil terus menatap nasi dan sepotong fried chicken yang belum ku sentuh sama sekali. Maklum, aku masih terkagetkan dengan harga makanan itu yang lebih mahal dari harga pesanan biasa. Dengan perasaan setengah menyesal, ku santap juga makanan itu. Lima belas menit lamanya kami berada di restoran itu. Sambil bercengkrama, kami menikmati keindahan langit yang berhiaskan bintang-bintang malam yang sangat terang. “ayo, mau pulang atau tidak?” tanyaku pada putri, teman kelasku yang terkadang sangat konyol. “kalau kita terus berlama-lama disini, kita tidak akan bisa pulang” lanjutku berbicara. “memangnya kenapa? Suasana disini sangat indah. Jarang sekali kita bisa menikmati malam yang begitu tenang seperti ini” jawabnya. Aku tahu suasana seperti ini memang jarang sekali bisa kami nikmati. Setiap waktu biasa kami habiskan di kampus, dan ketika malam menjemput kami habiskan untuk berada dalam ruangan kecil, yang biasa kami senut kamar kos. Tapi mau bagaimana lagi. Kami tidak bisa berlama-lama disini. Restoran sebentar lagi akan tutup, angkutan umum pun jarang ada yang melintas lewat jam 8 malam. Meski seharusnya untuk takaran kota besar tidak ada batasan bagi keramaian khususnya untuk beberapa alat transportasi. Tapi, daerah ini sangat berbeda. Meski berada dalam lingkup kota namun tetap saja kalu malam tiba transportasi umum jarang nampak, kalaupun ada hanya beberapa saja yang lewat.
Sesaat
itu pula kami pergi meninggalkan kursi dan meja. Ketika aku berjalan,
putri tergesa-gesa
mendahuluiku, dia bergegas menuju pintu keluar restoran itu. Aku merasa
heran
dengannya. Dia keluar dan menungguku diluar. Saat itu aku masih bingung,
mengapa dia tergesa-gesa keluar. Padahal saat itu dia belum mencuci tangannya. Dengan nada perlahan, ku
panggil dia, “putri…”. Dia menoleh kearah ku dan mendekatiku. “ada apa?
Kau
bilang kita harus segera pulang.” Aku benar-benar ingin
mentertawakannya.
Dengan polos dia bertanya padaku ‘ada apa?’ dia sama sekali tidak
menyadari
yang terjadi dengannya. Aku tertawa, sambil berkata, “iya, tapi apa kau
lupa? Tanganmu
belum dibersihkan….”. Wajah putri nampak sedikit bingung, dia
mengangkat
tangan kirinya sambil berkata,”aku lupa”. Dengan perasaan yang sangat
malu, dia
bergegas mengajaku ke kamar mandi untuk membersihkan tangan. Selama
berada di
kamar mandi, kami terus menerus tertawa mengingat kekonyolannya. “kamu
kenapa
gak ajak aku cuci tangan?” ujarnya dengan nada pelan. Akupun menjawab,
“gimana
mau ngajak, kamu bur-buru keluar mendahului aku.” Segera putri mengajaku
untuk
keluar dari restoran itu, “ayo kita pulang, ayo” desaknya. Mungkin Putri
masih
merasa malu saat ku tegur belum membersihkan tangannya. Karena saat ku
tegur
dia, ada cukup banyak orang yang sedang bersantap dan duduk disana.
Kamipun
keluar meninggalkan restoran tersebut.
Dengan
perasaan yang sangat tenang, aku dan putri berjalan menyusuri trotoar
di
sepanjang jalan itu. Kerlap-kerlip lampu kota menambah keindahan malam.
Bersama
bintang yang juga tak kalah cantiknya. Semua beban masih seperti tak
pernah
ada. Hanya aku, putri dan keindahan malam yang ada saat itu. Akhirnya,
tak lama
kemudian, sebuah mini travel atau angkot melintas. Angkot itu berhenti
tepat di
depan kami. Tanpa berlama-lama, kami memasuki angkot tersebut dan duduk
di
dalamnya. Angkot itu nampak kosong. Hanya ada aku dan Putri. Maklum,
saat itu
waktu sudah menunjukan pukul 20.17 malam. Meskipun itu disekitar
keramaian kota,
tetapi tetap saja jika malam tiba daerah tersebut sepi.
Beberapa
toko sudah mulai tutup. Hanya supermarket yang siap mengabdi 24 jam
untuk masyarakat yang terlihat masih buka. Angkot yang kami tumpangi
enggan
untuk berangkat juga. “haduh lama sekali.” Ujarku. Sudah cukup lama
angkot ini
berada tepat di tempat saat kami naik. Belum juga angkot ini berpindah
tempat. Yah
bagaimana lagi, namanya juga angkot. Si supir akan mengetem untuk waktu
yang
cukup lama sampai ada penumpang lain yang naik angkotnya. Beberapa saat
kemudian, seorang lelaki masuk ke dalam angkot tersebut. Lelaki tersebut
tertaksir sekitar 35 tahun dan ia seperti berasal dari PAPUA. Kulitnya
hitam
dan memiliki ciri-ciri seperti suku Papua. Wajahnya nampak garang dan
menakutkan. Ia duduk di pojok kanan angkot sambil memandang ke arah
jendela. Aku
yang selewat menatapnya merasa takut.
“haduh
lama sekali!”, ujarku lagi dengan perasaan jengkel karena angkot tak
urung jua pergi. Aku fikir semua angkutan umum di kota ini sama saja.
Mengetem
sudah menjadi tradisi untuk memancing kemarahan penumpang. Apalagi kalau
penumpang sedang dikejar waktu dan si supir tak mau mengerti. Tambah
saja
membuat penumpang jengkel. “iya. Kau sih enak. Jalanan menuju kosanmu
pasti
masih ramai, sedangkan aku. Harus melalui gang sempit dan gelap.”
Sambung Putri.
Daerah
di sepanjang jalan itu benar-benar sepi. Sedikit sekali orang-orang yang
nampak
di jalan tersebut. Semakin jenuh aku berada di angkot itu. Untuk
menghilangkan
kekesalan, akupun mengajak Putri bercerita. Tapi dia nampak asik
memainkan
telepon genggamnya. “hey, mana uangku?” ujarku. Dengan sedikit memasang
wajah
kaget, Putri menatapku sambil berkata, “oh iya, berapa sih? Dua puluh
ribu
yah?”. Diapun menarik uang dari saku celananya. Selembar uang lima puluh
ribu
diberikannya kepadaku. Ketika ia sedang menghitung uang,
“cccccrrrrrrrrrrrrriiiiiiiiiiiinnnggg…”. Terdengar suara uang koin yang
terjatuh dari genggaman tangan Putri. Kamipun serentak mengarahkan
pandangan ke
bawah dan berusaha menemukan uang koin yang jatuh itu. “mana sih?”
gumamku. Tetapi
ketika kami mencari, uang itu tidak ada. Kami berusaha mencari uang
tersebut
sambil diterangi lampu dari ponsel Putri. Tapi uang itu tetap tak ada.
“Put,
kok gak ada yah? Aneh sekali”, ucapku pada putri. “iya aneh sekali,
pasti
tidak akan jauh dari sini kan?” sambung Putri. Kami terus mencari uang
tersebut. Rasa penasaran seperti menghipnotis kami untuk segera
menemukan uang
koin itu. Namun kami tak juga menemukannya. “udahlah, biarin aja. Cuma
500
ini.” Ucapku pasa Putri. Aku dan Putri kembali bercakap-cakap.
Sudah
hampir sepuluh menit lamanya, kami berada dalam angkot itu. Tapi angkot
itu belum beranjak pergi juga. Ku lihat wajah Putri melirik ke bawah.
Sepertinya ia masih juga penasaran dengan uang koin 500 itu. Akhirnya ku
katakan padanya, “kau ini, udahlah gak usah dicari lagi uang itu. Hanya
untuk 1
koin uang 500 kau nampak konyol sekali.” Putri terdiam. Ku lihat lelaki
yang
duduk di pojok angkot itu mentertawakan kami berdua. Ia Nampak asyik
tertawa
sambil menatap ke luar jendela. Sepertinya ia terpancing dengan
kekonyolan
Putri. Namun, ia nampak takut kami merasa tersinggung dan malu. Sambil
tertawa,
ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya dan memandang ke arah
jendela.
Begitupun
aku. Kekonyolan Putri memang terkadang membuatku kesal namun aku tak
bisa menahan perasaanku untuk terus mentertawakannya. “sebenernya bukan
masalah
nominalnya sih. Tapi aku bener-bener penasaran. Masa tiba-tiba ilang
gitu aja.”
Ucap Putri padaku. Memang benar apa yang dia katakan. Uang itu terjatuh
masih
di dalam angkot, tapi ketika kami mencari, uang itu tidak ada. Rasa
penasaran
semakin menghantui kami. Kamipun kembali mencari uang koin tersebut. “
Put,
nyalakan handphone kamu, biar ada cahaya” ucapku. Putripun mengeluarkan
handphonenya. Cahaya handphone sedikit bisa memberikan penerangan untuk
kami.
Kuraba dasar angkot disekelilingku. Namun uang itu tak nampak jua.
Angkot
melaju dengan lambatnya. Sejenak angkot itu berhenti dan melaju lagi.
Setiap
angkot berhenti untuk mengetem, kami mencari uang koin itu. “aku
benar-benat
penasaran dengan uang koin itu” ucapku. “iya benar” sambung Putri.
Ku
tengok ke arah pojok angkot, lagi-lagi lelaki itu mentertawakan kami.
Namun
nampaknya kali ini ia merasa tersentuh untuk membantu kami mencari uang
koin tersebut. Perlahan ia mendekati kami. Dia berusaha menemukan uang
koin
itu. Tapi kami berdua menghentikannya. “sudah pak, tidak usah dicari.
Tidak
apa-apa nanti kami malah merepotkan.” Ujarku. Dia ternyata sangat baik,
walaupun wajah garangnya nampak menakutkan. Lelaki itupun kembali
mentertawakan
kami sambil berkata, “tidak akan mungkin jauh dari angkot ini”. Kamipun
memang
mempunyai pemikiran yang sama dengannya. Namun uang itu benar-benar
memudarkan
fikiran kami. Sejenak kami hentikan pencarian uang koin itu. “sudahlah,
apa
arti uang 500 rupiah? Anggap saja kau telah menyedekahkan uang itu”
ucapku pada
Putri. Dengan cepat ia menjawab, “kau ini, itu sangat berharga. Uang 500
itu
bisa kubelikan satu potong bala-bala”. Yah, seperti itulah Putri. Ia
tidak
pernah mau kalah bicara dengan siapapun. Akupun memilih untuk diam.
Beberapa jalan telah disusuri angkot itu. Banyak waktu digunakan si
supir untuk
mengetem. Namun tetap saja angkot itu kosong. Hanya ada bebrapa
penumpang yang
naik turun angkot. Lagi-lagi kulihat Putri menengok ke bawah. Masih saja
ia
penasaran dengan uang koin 500 rupiah itu. Akhirnya kusuruh dia pindah
kesampingku. “sini deh, kamu pindah deket aku. Biar kita bisa cari
bareng-bareng” ucapku. Lelaki itu tiba-tiba mendekati kami lagi. Ia
berusaha
menemukan uang koin 500 itu. Meski sudah sekian kali kami melarangnya,
namun ia
tak menghiraukan sama sekali. Sepertinya dia juga penasaran dan merasa
kasihan
melihat kami mencari uang itu. “Put, kalau uang itu bisa ditemukan, aku
ucapkan
selamat untukmu”. Sindirku. Tidak lama kemudian lelaki itu mendekati
pintu
angkot. Diambilnya sesuatu dari bawah
kursi dekat pintu. Ketika itu kami kaget. Uang 500 rupiah yang kami
cari, sudah
ada di genggaman tangannya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hati kami.
Entah
apa yang ingin kami katakan. Hanya ucapkan terima kasih kepada lelaki
itu.
Diapun tersenyum sambil berkata, “uang koin ini akan sangat bersejarah”.
Kamipun
tersipu malu dan berkata, “tentu”.
Uang
koin 500 rupiah menjadi saksi kebahagiaan kami malam itu. Begitupun
dengan
lelaki yang telah membantu kami mencari dan menemukan uang tersebut.
Dialah
‘HERO’ untuk kami. kamipun menyebutnya Paman Beta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar