oleh: Anisa Isti
Jalanan
adalah tempat yang paling keras bagi Joy, seorang pemuda berandalan yang telah
menjejaki panasnya lidah aspal selama 17 tahun lamanya. Dari jalananlah ia
lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Sekeras hari yang ia
lewati, baginya hidup adalah sebuah perjuangan. Tak pernah ada waktu untuk
berleha-leha, karena menurutnya hanyalah manusia cengeng dan tidak berguna yang
akan hidup dengan terus bersandar pada kelalaian.
Joy memang tak seberuntung pemuda lainnya; yang memiliki
kesempatan untuk mencicipi indahnya surga dunia. Selain itu, iapun tak bisa
memenuhi segala kebutuhannya. Begitu pula dengan haknya sebagai anak bangsa
yang tidak bisa mengenyam pendidikan secara bebas. Namun Joy tak pernah
mengeluh atau protes kepada Tuhan. Ia selalu berusaha menerima segala yang
telah diberikan Tuhan kepadanya. Namun demikian, Joypun adalah seorang manusia.
Ia bagian dari jiwa bangsa. Iapun memiliki keinginan untuk belajar dan menuntut
ilmu. Keterbatasannya untuk memeluk dunia pendidikan bukanlah suatu masalah
baginya. Dengan sangat mudah ia menyihir semua keluhan dalam dirinya menjadi
jiwa dengan semangat yang berkobar.
Setiap hari Joy selalu pergi ke beberapa tempat bacaan,
seperti toko buku atau taman bacaan lainnya. Ia berusaha menyeimbangkan
kemampuannya untuk bisa mendapatkan ilmu. Tidak hanya itu, Joypun selalu pergi ke
kampus-kampus untuk ikut belajar bersama mahasiswa lainnya. Tetapi semua tak
semudah yang dibayangkan. Dari mulai toko buku yang kecil, sederhana hingga toko
buku megah, sepertinya bukanlah tempah singgah yang tepat untuk takaran pemuda
seperti Joy. Begitupun dengan sekolah-sekolah yang bagus, apalagi sekolah yang
bergengsi. Bagaimana tidak, pemuda dengan pakaian lusuh, celana yang
combang-cambing tak karuan, tubuh yang dekil, dan roman wajah yang menantang,
tentu saja membuat satpam dan para pramuniaga cantik di dalamnya turun langsung
untuk mengusirnya. Baru saja kakinya mencicipi pangkal toko buku yang mengkilat
itu, satpam langsung menghadangnya dengan tongkat andalannya.
“Hey! Kau mau kemana?” teriaknya. “Kau mau mencuri???”
sambungnya menegas.
Joy, dengan wajahnya yang lurus lalu berkata, “Saya bukan
pencuri.”
“Lalu mau apa datang kemari?” tanya satpam itu menyambung
pembicaraan.
“Saya mau belajar.”Jawab Joy
tanpa menatap mata satpam itu.
Matanya terus memandang pada buku-buku yang
tersusun rapi di rak-rak buku tersebut. sesekali ia alihkan pandangannya pada
jajaran buku-buku terbaru yang terpampang di bagian depan rak. Namun niatnya
itu lenyap ketika satpam toko mengusirnya.
“Ini bukan sekolah, bukan juga jalanan yang bebas
didatangi sembarang orang.” Ucap satpam itu dengan logat yang merendahkan.
Joy tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun ia pemuda
jalanan atau akrab dengan sosok seorang berandalan, namun sikapnya bukan
seperti seorang berandalan. Ia pandai menjaga sikap. Karena menurutnya, kodrat
manusia adalah untuk saling menghargai.
Setiap hari hal serupa terjadi dengannya. Ia harus
mendapatkan perlakuan tidak hormat dari orang-orang yang menganggapnya sebagai
anak jalanan yang tidak beradab. Bahkan iapun harus menjumpai orang-orang yang
menilainya sebagai manusia yang tidak patut berada di bumi ini.
Joy bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Sikap yang ia
terima dari orang-orang tersebut tidak lantas membuatnya putus harapan.
Berkali-kali ia datang mengunjungi toko buku itu, dan hal serupapun terjadi
lagi padanya. Hingga suatu hari Joy datang mengunjugi sebuah toko buku yang
sangat besar. Tentu saja buku-buku bacaan didalamnya sangatlah bagus-bagus dan
menarik. Joy lalu menatap pada kaca toko yang mengkilat bagai kilauan mentari
di pagi hari. Namun kali ini ia tidak langsung masuk ke toko tersebut. ia yakin
bahwa dia tidak akan bisa mendapat izin masuk dengan keadaannya yang seperti
itu. Joy kemudian mengarahkan pandangannya ke sebuah jongko yang berjajar di
sepanjang jalan dekat toko tersebut. ia menghampiri seorang pedagang jam tangan
yang sedang menawarkan barangnya.
“Mang, boleh saya pinjam kemejanya?” ucap Joy pada
pedagang itu.
“Pinjam???”
“Iya. Saya butuh baju.” Ucapnya.
“Buat apa?” tanya pedagang itu sambil terus menatap Joy.
“Saya mau masuk ke toko buku itu tapi tidak mungkin
dengan pakaian saya yang seperti ini.” Jawab Joy.
“Mau apa kau kesana? Mau nyolong?” tanya pedagang itu.
Tanpa menjawab pertanyaan kasar dari si pedagang, Joy
lalu mengeluarkan uang 5rb dari saku celananya.
“Ini buat jaminannya. Nanti saya segera kembalikan
kemejanya.” Ucap Joy.
Melihat kejujuran dari muka Joy, Pedagang itu merasa
kasihan, iapun lalu memberikan kemejanya.
“Bawa saja uangnya. Semoga kemeja ini bermanfaat,”
ujarnya. “Tidak usah dikembalikan lagi. Nanti kumannya nempel di badan saya.”
Sambung pedagang itu.
“Sial, seenaknya
saja pedagang itu berbicara,” ucap joy dalam hati.
“Terima kasih mang.” Sambung Joy mengakhiri perbincangan.
Setelah Joy mendapatkan kemeja itu, iapun lalu pergi ke
Masjid di sekitar tempat itu. Ia membersihkan badan dan segera mengganti
pakaiannya. Lalu iapun mengunjungi toko buku tersebut. Ternyata penampilannya
mampu menipu banyak orang. Termasuk satpam yang tidak mencurigainya sama
sekali. Bahkan tidak sesekali meliriknya.
Setiap hari Joy melakukan hal yang sama. Ia menghabiskan
waktu berjam-jam untuk membaca disana. Beberapa buku sastra menjadi pilihan
utama untuk ia baca dan pelajari. Joy adalah salah seorang pemuda yang menyukai
sastra. Baginya kebebasan bisa ia temui dari setiap karangan yang ia temukan di
buku-buku sastra yang berbau fiksi tersebut.
Tidak hanya sebatas berkunjung ke toko buku. Joy juga
selalu menghabiskan sebagian waktunya untuk ikut belajar di kampus-kampus. Ia
datang tanpa membawa tas atau buku-buku. Hal yang ia lakukan adalah masuk kelas
dan duduk di salah satu kursi paling belakang. Setiap mahasiswa yang hadir
menatap Joy dengan tatapan heran. Joy memanglah seseorang yang misterius. Ia
bukanlah mahasiswa yang terdaftar secara resmi di universitas tersebut. Namun
ia tak pernah peduli, tujuannya datang adalah untuk belajar bukan untuk
meladeni prasangka-prasangka buruk dari orang-orang.
Suatu waktu, ketika ia keluar kelas, ia melihat pada
sebuah perpustakaan besar di dekat gedung besar. Ia tertarik untuk mengunjungi
perpustakaan tersebut. Joypun berjalan menghampiri perpustakaan tersebut.
Ketika ia masuk, hal serupa yang sering ia terima terjadi lagi. Penjaga
perpustakaan itu mengusir Joy. Saat itu rupanya Joy tidak sedang mengenakan
kemeja rapi yang diberikan oleh pedagang jam tangan itu. Apalagi saat itu
wajahnya nampak kumel. Joy tidak lantas meninggalkan perpustakaan tersebut, ia
bersikeras untuk bisa masuk ke perpustakaan itu. Beberapa kali ia merayu dan
meyakinkan penjaga perpustakaan tersebut, namun tidak ada sedikitpun perhatian
dari penjaga tersebut.
Joy terus menunggu di depan perpustakaan itu, ia mencari
akal supaya bisa masuk ke perpustakaan tersebut. Namun sepertinya nasib baik
datang untuknya, penjaga perpus itu sejenak meninggalkan mejanya, dengan
sesegera mungkin Joy masuk ke perpustakaan dan membaca beberapa buku-buku di
dalamnya. Sesekali penjaga itu mengontrol keadaan dalam ruangan itu dan Joy
selalu bersembunyi di bawah meja baca di ruangan tersebut.
Hari selanjutnya sama seperti dengan hari-hari
sebelumnya. Joy datang ke kelas dan mengikuti pelajaran. Namun kali ini dosen
itu tidak datang sendirian, rupanya hari itu ada kunjungan dari Kementerian
Pendidikan untuk melihat proses pembelajaran di setiap kelas di Universitas
tersebut. Jantung Joy berdekat dengan kencang.Ia takut kalau tiba-tiba ada
pemeriksaan mahasiswa. Ia berpikir kalau sampai pihak Universitas tahu, pasti
ia akan ditendang dari ruangan itu.Joy berusaha menyembunyikan perasaannya.
Saat
itu, pihak Kementerian meminta dosen tersebut untuk memberikan pertanyaan
sekitar materi-materi yang telah diajarkannya. Tujuannya adalah untuk menilai
sejauh mana keberhasilan mahasiswa dalam menangkap materi-materi tersebut.
Dari setiap pertanyaan yang dilontarkan dosen tersebut,
tak ada satupun yang bisa menjawab. Beberapa siswa memang sempat mengacungkan
tangan dan menjawab pertanyaannya. Namun jawaban tersebut tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Dari semua mahasiswa yang berada di ruangan tersebut, hanya
Joy yang mampu menaklukan semua pertanyaan dosen tersebut dengan sangat tepat.
Seseorang dari Kementerian Pendidikan tersebut tertarik
dengan semua jawaban Joy. Ia lalu menghampiri Joy,
“Siapa namamu?” tayanya.
“Joy.”
Dosen tersebut berusaha menemukan nama ‘JOY’ pada buku
kehadiran mahasiswa. Namun ternyata nama itu tidak terdaftar di dalamnya. Lalu
Dosen itu bertanya.
“Kau bukan mahasiswa sini bukan?” tanyannya.
Semua orang yang berada di kelas mengarahkan pandangannya
kepada Joy.
“Yah. Saya memang bukan siswa di Universitas ini.” Saya adalah
seorang anak jalanan yang ingin belajar.” Ucapnya.
Mendengar jawaban tersebut, semua merasa kaget.
Seseorangpun kembali mendekatinya.
“Kau ingin sekolah?” tanyanya.
“Iya. Tapi saya tidak memiliki kesempatan itu.” Jawab
Joy.
“Kalau
begitu, sekarang kau punya kesempatan itu.” jawab orang tersebut.
“Negara
akan membiayaimu untuk bersekolah.” Sambungnya.
Dengan tegas Joy menolak tawaran itu.
“Tidak!” jawabnya.
“Kenapa?” tanya orang tersebut.
“Saya tidak akan bisa bersekolah sementara teman-teman
saya masih berada di jalanan. Banting tulang mencari uang untuk makan,
sementara mereka bodoh, buta huruf dan tertinggal.” Tegas Joy.
Sejenak semuanya terdiam. Joy kemudian melanjutkan
pembicaraannya.
“Apakah seperti ini Negara kita?” tanyanya.
“Apakah hanya mereka yang beruang yang boleh sekolah?
Apakah rakyat jalan seperti kami tidak bisa merasakan menjadi manusia yang
seutuhnya. Yang bisa belajar, menuntut ilmu dan pintar!?” sambungnya.
Para menteri tersebut terdiam. Begitupun dengan dosen dan
seluruh mahasiswa yang berada di ruangan itu semuanya ikut larut dalam hening.
Bandung, 20-12-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar