Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Kamis, 21 Juli 2011

SERUPA BUNGA

Cerpen, oleh Greeny Azzahra

“Mengapa?”
Pertanyaan itu ia lontarkan setiap ibunya berkata,
“Kau harus hidup.”
“Apa gunanya?”
Kembali ia lontarkan pertanyaan, dan setiap itu pula ibunya hanya mengakhiri dengan senyuman dan meninggalkannya sendirian.



Dan seperti hari-hari sebelumnya, di pikirannya tergambar kembali hidup yang sudah tidak menarik, hanya serupa waktu yang sia-sia. Tak ada suka cita, atau warna-warni ceria. Baginya hidup terdimensi menjadi plafon kamar, tembok putih, kasur yang semakin lama semakin menghisap tubuhnya.
Dulu ia tak begini. Semua tahu, semua ingat. Bunga yang ceria. Bunga yang merona. Bunga yang bahagia. Tapi sekarang?
“Kau tetap bungaku.” Begitu yang selalu ibunya bilang. Setiap fajar dan setiap senja. Rutin. Selalu sama, dengan ajakan yang serupa;
“Kau mau melihat fajar? Sungguh cantik.”
Atau,
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.”
Ia hanya menggeleng lemah. Kadang ia jawab dengan terdiam, kadang ia jawab dengan sebaris pertanyaan;
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati waktu. Bukankah fajar hanya menawarkan itu?”
Atau,
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati kelam. Bukankah senja hanya menawarkan hitam?”
Tapi ibunya seperti ibunya dulu. Bagi wanita itu tak ada waktu yang buruk. Semua waktu pasti baik. Bagi wanita itu tak ada kelam yang hitam. Semua kelam pasti berubah terang.
Mungkin itu yang membuatnya kesal, ketika sebuah kecelakaan dengan tega merenggut kebahagiaannya, ibunya malah berkata;
“Bukankah sesudah kesulitan ada kemudahan.”
Tidak ibu! Kesulitan ini tak akan bertemu kemudahan! Kesulitan ini akan terus kurasakan! Ingin ia berteriak seperti itu. Tapi cinta yang berkaca di mata wanita tua itu, membuat semua ucapannya luruh hanyut beserta air mata.
***
Siang itu ibu kembali menemuinya di kamar. Kali ini senyum ibunya lebih lebar dari biasanya. Dan ia, seperti dirinya kemarin-kemarin. Bergelung selimut kusam, di atas tempat tidur.
Tak ada ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Sesekali hanya batuk-batuk kecil yang terdengar. Ia amati ibunya itu yang sedari tadi melakukan beberapa aktivitas di kamarnya. Membuka tirai jendela. Mengelap meja di samping jendela. Merapihkan barang-barang di atasnya. Keluar. Kembali lagi dengan membawa sebuah pot berisi bunga.
“ Dendrobium. Cantik bukan?” lalu ibunya meletakan pot tersebut di atas meja kamarnya.
“Secantik bungaku.” Sambung ibunya kembali.
Jadi kini bertambahlah penghuni baru di kamar itu. Sebuah pot dengan tanaman anggrek menghiasinya. Ia tak tahu apa maksud dari perbuatan ibunya itu. Buat apa? Tak ada gunanya! Pikirnya atas kehadiran bunga itu.
Selanjutnya, setiap hari ibunya datang ke kamar. Menyapanya. Menjawab keluh kesahnya. Mengajaknya melihat fajar atau senja -walau dengan jawaban serupa-. Lalu kemudian merawat tanaman di meja itu. Hingga bunga itu semakin lama tampak semakin cantik.
Ia berusaha tidak peduli dengan kehadiran bunga itu. Tapi matanya bahkan kini mulai mengkhianatinya. Rupa ungu yang berpadu putih memang indah, menariknya untuk menikmati itu semua.
“Kau suka?” tanya ibunya ketika tak sengaja menangkap tatapannya yang tertuju pada pot di atas meja.
Ia tak menjawab.
“Bunga, bagaimanapun rupanya. Orang selalu mengartikan bunga sebagai sebuah kecantikan, keindahan,” ibunya menarik nafas lalu melanjutkan lagi, “Begitupun engkau, Nak. Bagi ibu bagaimanapun rupamu, engkau tetap bunga ibu yang cantik.”
Ia hanya terdiam. Ia rasakan matanya yang mulai memanas.
Wanita itu menyentuh wajahnya, “Layu bukanlah kehendak bunga. Itu sebuah keniscayaan. Pasti terjadi suatu saat nanti. Dan kau, Nak. Belum saatnya merasakan itu."
Sekali lagi, ia hanya terdiam. Begitu ibunya keluar. Entah darimana datangnya, tiba-tiba ia beranikan diri untuk menarik badannya menjauhi tempat tidur dan mendekati kursi roda yang teronggok di sebelahnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menjangkau kursi tersebut. Ingin ia memanggil ibunya. Meminta bantuannya. Tapi keberaniannya ternyata tak cukup banyak untuk melakukan itu.
Berhasil! Pekiknya setelah susah payah akhirnya ia bisa menaiki kursi tersebut.
Dengan gerakan yang kaku, ia memutar roda kursi tersebut. Mendekati meja di depannya. Ia raih kelopak dendrobium tersebut. Ia amati dengan seksama.
“Kau sungguh cantik.” Gumamnya.
Ia teringat sapaan kawan-kawannya dulu, “Kau Bunga, sungguh cantik!”
Ia tergugu. Ia tahu sapaan itu tak akan ia dengar lagi sekarang.
“Kau Bunga, sungguh cantik!” Ia menengok ke belakang. Wanita berbusana hijau di dekat pintu menyapanya.
“Sama seperti bunga ini.” Ucap ibunya kembali begitu sampai di sampingnya.
“Tidak, Bu. Tidak sama.”
Ibunya meraih tangannya. Mendekatkan tangan itu ke dadanya.
“Di sini. Ibu tahu, kau masih sama. Tetap Bunga yang cantik.”
Tubuhnya bergetar. Menahan tangis agar tak tumpah.
“Benarkan?” sambung ibunya kembali.
Ia tak menjawab.
Kali ini ibunya menjangkau tirai jendela. Menyisihkan ke samping. Membuka perlahan kaca jendela. Sesaat dapat ia rasakan angin yang berhembus menggelitik wajahnya.
Ia arahkan tatapannya pada pandangan di balik jendela. Ia terkejut.
Sejak kapan halaman rumahnya berubah menjadi taman bunga? Bukan hanya ungu, tetapi merah, jingga, biru, hijau. Semua terhampar begitu indah.
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.” Tanya ibunya.
Matanya kini basah. Dengan suara bergetar ia jawab pertanyaan ibunya itu,
“Ya.”
***

BIODATA PENULIS :
Grini Priyanti ( Greeny Azzahra)
Jalan Terusan Tubagus Ismail No. 8 Bandung 40134
0856 5927 5411
Bandung, 26 Februari 1989
Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung
Mahasiswa STKIP Ahmad Dahlan Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar