Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Kamis, 10 November 2011

Paman Beta dan Uang Koin rp.500

oleh  : Anisa Isti
Malam selalu memberi nuansa ketenangan. Segala hirup pikuk yang menginap dalam fikiran, sejenak tersembunyikan. Bersandar di atas kursi sambil menyantap makanan, itu lebih menyenangkan. Apalagi di pinggiran kota besar yang mendadak sepi damai dari ribuan jiwa yang biasanya memadati setiap sudut keramaian. Disanalah aku memanjakan waktu senggangku.

“ Benar-benar mahal sekali makanan ini. Tidak seperti yang biasanya ku beli. Harganya sungguh 3x lebih mahal dari pecel lele yang biasa ku beli di pinggir jalan kosanku” ujarku sambil menatap 1 potong fried chicken dan sebungkus nasi di atas piring kaca yang terbaring di meja. “iya tentu saja, ayamnya lebih besar dari yang biasa kita dapat sebelumnya. Namanya juga restoran. Mau tidak mau kita harus terima meskipun dengan harga mahal. Itu resiko”. Jawab Putri, temanku, sambil melahap nasi dan sepotong fried chicken yang dibelinya.

               
Aku diam sambil terus menatap nasi dan sepotong fried chicken yang belum ku sentuh sama sekali. Maklum, aku masih terkagetkan dengan harga makanan itu yang lebih mahal dari harga pesanan biasa. Dengan perasaan setengah menyesal, ku santap juga makanan itu. Lima belas menit lamanya kami berada di restoran itu. Sambil bercengkrama, kami menikmati keindahan langit yang berhiaskan bintang-bintang malam yang sangat terang. “ayo, mau pulang atau tidak?” tanyaku pada putri, teman kelasku yang terkadang sangat konyol. “kalau kita terus berlama-lama disini, kita tidak akan bisa pulang” lanjutku berbicara. “memangnya kenapa? Suasana disini sangat indah. Jarang sekali kita bisa menikmati malam yang begitu tenang seperti ini” jawabnya. Aku tahu suasana seperti ini memang  jarang sekali bisa kami nikmati. Setiap waktu biasa kami habiskan di kampus, dan ketika malam menjemput kami habiskan untuk berada dalam ruangan kecil, yang biasa kami senut kamar kos. Tapi mau bagaimana lagi. Kami tidak bisa berlama-lama disini. Restoran sebentar lagi akan tutup, angkutan umum pun jarang ada yang melintas lewat jam 8 malam. Meski seharusnya untuk takaran kota besar tidak ada batasan bagi keramaian khususnya untuk beberapa alat transportasi. Tapi, daerah ini sangat berbeda. Meski berada dalam lingkup kota namun tetap saja kalu malam tiba transportasi umum jarang nampak, kalaupun ada hanya beberapa saja yang lewat. 

Sesaat itu pula kami pergi meninggalkan kursi dan meja. Ketika aku berjalan, putri tergesa-gesa mendahuluiku, dia bergegas menuju pintu keluar restoran itu. Aku merasa heran dengannya. Dia keluar dan menungguku diluar. Saat itu aku masih bingung, mengapa dia tergesa-gesa keluar. Padahal saat itu dia belum  mencuci tangannya. Dengan nada perlahan, ku panggil dia, “putri…”. Dia menoleh kearah ku dan mendekatiku. “ada apa? Kau bilang kita harus segera pulang.”  Aku benar-benar ingin mentertawakannya. Dengan polos dia bertanya padaku ‘ada apa?’ dia sama sekali tidak menyadari yang terjadi dengannya. Aku tertawa, sambil berkata, “iya, tapi apa kau lupa? Tanganmu belum dibersihkan….”. Wajah putri  nampak sedikit bingung, dia mengangkat tangan kirinya sambil berkata,”aku lupa”. Dengan perasaan yang sangat malu, dia bergegas mengajaku ke kamar mandi untuk membersihkan tangan. Selama berada di kamar mandi, kami terus menerus tertawa mengingat kekonyolannya. “kamu kenapa gak ajak aku cuci tangan?” ujarnya dengan nada pelan. Akupun menjawab, “gimana mau ngajak, kamu bur-buru keluar mendahului aku.” Segera putri mengajaku untuk keluar dari restoran itu, “ayo kita pulang, ayo” desaknya. Mungkin Putri masih merasa malu saat ku tegur belum membersihkan tangannya. Karena saat ku tegur dia, ada cukup banyak orang yang sedang bersantap dan duduk disana. Kamipun keluar meninggalkan restoran tersebut.

                Dengan perasaan yang sangat tenang, aku dan putri berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan itu. Kerlap-kerlip lampu kota menambah keindahan malam. Bersama bintang yang juga tak kalah cantiknya. Semua beban masih seperti tak pernah ada. Hanya aku, putri dan keindahan malam yang ada saat itu. Akhirnya, tak lama kemudian, sebuah mini travel atau angkot melintas. Angkot itu berhenti tepat di depan kami. Tanpa berlama-lama, kami memasuki angkot tersebut dan duduk di dalamnya. Angkot itu nampak kosong. Hanya ada aku dan Putri. Maklum, saat itu waktu sudah menunjukan pukul 20.17 malam. Meskipun itu disekitar keramaian kota, tetapi tetap saja jika malam tiba daerah tersebut sepi. 

                Beberapa toko sudah mulai tutup. Hanya supermarket yang siap mengabdi 24 jam untuk masyarakat yang terlihat masih buka. Angkot yang kami tumpangi enggan untuk berangkat juga. “haduh lama sekali.” Ujarku. Sudah cukup lama angkot ini berada tepat di tempat saat kami naik. Belum juga angkot ini berpindah tempat. Yah bagaimana lagi, namanya juga angkot. Si supir akan mengetem untuk waktu yang cukup lama sampai ada penumpang lain yang naik angkotnya. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki masuk ke dalam angkot tersebut. Lelaki tersebut tertaksir sekitar 35 tahun dan ia seperti berasal dari PAPUA. Kulitnya hitam dan memiliki ciri-ciri seperti suku Papua. Wajahnya nampak garang dan menakutkan. Ia duduk di pojok kanan angkot sambil memandang ke arah jendela. Aku yang selewat menatapnya merasa takut.

                “haduh lama sekali!”, ujarku lagi dengan perasaan jengkel karena angkot tak urung jua pergi. Aku fikir semua angkutan umum di kota ini sama saja. Mengetem sudah menjadi tradisi untuk memancing kemarahan penumpang. Apalagi kalau penumpang sedang dikejar waktu dan si supir tak mau mengerti. Tambah saja membuat penumpang jengkel. “iya. Kau sih enak. Jalanan menuju kosanmu pasti masih ramai, sedangkan aku. Harus melalui gang sempit dan gelap.” Sambung Putri. 

Daerah di sepanjang jalan itu benar-benar sepi. Sedikit sekali orang-orang yang nampak di jalan tersebut. Semakin jenuh aku berada di angkot itu. Untuk menghilangkan kekesalan, akupun mengajak Putri bercerita. Tapi dia nampak asik memainkan telepon genggamnya. “hey, mana uangku?” ujarku. Dengan sedikit memasang wajah kaget, Putri menatapku sambil berkata, “oh iya, berapa sih? Dua puluh ribu yah?”. Diapun menarik uang dari saku celananya. Selembar uang lima puluh ribu diberikannya kepadaku. Ketika ia sedang menghitung uang, “cccccrrrrrrrrrrrrriiiiiiiiiiiinnnggg…”. Terdengar suara uang koin yang terjatuh dari genggaman tangan Putri. Kamipun serentak mengarahkan pandangan ke bawah dan berusaha menemukan uang koin yang jatuh itu. “mana sih?” gumamku. Tetapi ketika kami mencari, uang itu tidak ada. Kami berusaha mencari uang tersebut sambil  diterangi lampu dari ponsel Putri. Tapi uang itu tetap tak ada. “Put, kok gak ada yah? Aneh sekali”, ucapku pada putri.  “iya aneh sekali, pasti tidak akan jauh dari sini kan?” sambung Putri. Kami terus mencari uang tersebut. Rasa penasaran seperti menghipnotis kami untuk segera menemukan uang koin itu. Namun kami tak juga menemukannya. “udahlah, biarin aja. Cuma 500 ini.” Ucapku pasa Putri. Aku dan Putri kembali bercakap-cakap.

                Sudah hampir sepuluh menit lamanya, kami berada dalam angkot itu. Tapi angkot itu belum beranjak pergi juga. Ku lihat wajah Putri melirik ke bawah. Sepertinya ia masih juga penasaran dengan uang koin 500 itu. Akhirnya ku katakan padanya, “kau ini, udahlah gak usah dicari lagi uang itu. Hanya untuk 1 koin uang 500 kau nampak konyol sekali.” Putri terdiam. Ku lihat lelaki yang duduk di pojok angkot itu mentertawakan kami berdua. Ia Nampak asyik tertawa sambil menatap ke luar jendela. Sepertinya ia terpancing dengan kekonyolan Putri. Namun, ia nampak takut kami merasa tersinggung dan malu. Sambil tertawa, ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya dan memandang ke arah jendela.

                Begitupun aku. Kekonyolan Putri memang terkadang membuatku kesal namun aku tak bisa menahan perasaanku untuk terus mentertawakannya. “sebenernya bukan masalah nominalnya sih. Tapi aku bener-bener penasaran. Masa tiba-tiba ilang gitu aja.” Ucap Putri padaku. Memang benar apa yang dia katakan. Uang itu terjatuh masih di dalam angkot, tapi ketika kami mencari, uang itu tidak ada. Rasa penasaran semakin menghantui kami. Kamipun kembali mencari uang koin tersebut.  “ Put, nyalakan handphone kamu, biar ada cahaya” ucapku. Putripun mengeluarkan handphonenya. Cahaya handphone sedikit bisa memberikan penerangan untuk kami. Kuraba dasar angkot disekelilingku. Namun uang itu tak nampak jua. Angkot melaju dengan lambatnya. Sejenak angkot itu berhenti dan melaju lagi. Setiap angkot berhenti untuk mengetem, kami mencari uang koin itu. “aku benar-benat penasaran dengan uang koin itu” ucapku. “iya benar” sambung Putri.

                Ku tengok ke arah pojok angkot, lagi-lagi lelaki itu mentertawakan kami. Namun nampaknya kali ini ia merasa tersentuh untuk membantu kami  mencari uang koin tersebut. Perlahan ia mendekati kami. Dia berusaha menemukan uang koin itu. Tapi kami berdua menghentikannya. “sudah pak, tidak usah dicari. Tidak apa-apa nanti kami malah merepotkan.” Ujarku. Dia ternyata sangat baik, walaupun wajah garangnya nampak menakutkan. Lelaki itupun kembali mentertawakan kami sambil berkata, “tidak akan mungkin jauh dari angkot ini”. Kamipun memang mempunyai pemikiran yang sama dengannya. Namun uang itu benar-benar memudarkan fikiran kami. Sejenak kami hentikan pencarian uang koin itu. “sudahlah, apa arti uang 500 rupiah? Anggap saja kau telah menyedekahkan uang itu” ucapku pada Putri. Dengan cepat ia menjawab, “kau ini, itu sangat berharga. Uang 500 itu bisa kubelikan satu potong bala-bala”. Yah, seperti itulah Putri. Ia tidak pernah mau kalah bicara dengan siapapun. Akupun memilih untuk diam.

                Beberapa jalan telah disusuri angkot itu. Banyak waktu digunakan si supir untuk mengetem. Namun tetap saja angkot itu kosong. Hanya ada bebrapa penumpang yang naik turun angkot. Lagi-lagi kulihat Putri menengok ke bawah. Masih saja ia penasaran dengan uang koin 500 rupiah itu. Akhirnya kusuruh dia pindah kesampingku. “sini deh, kamu pindah deket aku. Biar kita bisa cari bareng-bareng” ucapku. Lelaki itu tiba-tiba mendekati kami lagi. Ia berusaha menemukan uang koin 500 itu. Meski sudah sekian kali kami melarangnya, namun ia tak menghiraukan sama sekali. Sepertinya dia juga penasaran dan merasa kasihan melihat kami mencari uang itu. “Put, kalau uang itu bisa ditemukan, aku ucapkan selamat untukmu”. Sindirku. Tidak lama kemudian lelaki itu mendekati pintu angkot. Diambilnya sesuatu dari bawah kursi dekat pintu. Ketika itu kami kaget. Uang 500 rupiah yang kami cari, sudah ada di genggaman tangannya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hati kami. Entah apa yang ingin kami katakan. Hanya ucapkan terima kasih kepada lelaki itu. Diapun tersenyum sambil berkata, “uang koin ini akan sangat bersejarah”. Kamipun tersipu malu dan berkata, “tentu”.  

Uang koin 500 rupiah menjadi saksi kebahagiaan kami malam itu. Begitupun dengan lelaki yang telah membantu kami mencari dan menemukan uang tersebut. Dialah ‘HERO’ untuk kami. kamipun menyebutnya Paman Beta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar