oleh: Yoga HimaPercuy 
“the  Land of Bandungia”, kalimat itu yang  berkelebat terus menerus dalam  imajinasi saya, saat saya mulai berniat menuliskan apa-apa yang saya  ingat berkaitan dengan pengalaman saya kemarin.
Seperti  yang kang Hawe dongengkan kemarin, setidaknya, merujuk pada khazanah  keilmuan Yunani klasik dalam hal ini “Aristotle’s Rethoric”. Ada tiga  kata kunci yang mesti diperhatikan sebelum kita menulis (beraksi, dll).
Pertama, Inventio.  Inventio adalah tentang perumusan gagasan. Menurut dugaan saya,  inventio ini adalah aktifitas kita, memproduksi gagasan baru setiap  waktu sesuai konteks. Tanpa perumusan gagasan (secara sadar),  sepertinya, apa yang disampaikan cuma sampah. Di ranah lain, saya bisa  contohkan pada segerombol aktifis yang berdemonstrasi. Berdemonstrasi  namun tanpa seperangkat kesadaran yang memadai. Maksudnya, masing-masing  dari mereka yang berdemonstrasi tidak memiliki landasan  intelektual/landasan episteme (gagasan yang masagi). Alhasil,  apa yang mereka teriakan (perjuangkan) biasanya mudah ditunggangi  (dikotori). Dan selesai  sudah apa yang diteriakan, saat nasi bungkus  habis dimakan atau uang amplopan habis dipakai jajan. Mereka, biasanya  dipanggil dengan julukan, “Aktifis Nasi Bungkus”.
Kedua, Elocutio.  Adalah cara bagaimana kita menyampaikan gagasan. Hendaknya, suatu  gagasan disampaikan dengan cara yang elok, punya kekuatan mengajak,  menggerakan dan memberi kenikmatan. Cara-cara kita menyampaikan gagasan  penting diperhatikan. Sebab, bisa jadi jika cara yang dipakai tidak  tepat, justru gagasan menjadi tidak sampai. Mengalami pembiasan dan  akhirnya sia-sia. Dibuang begitu saja seperti sampah. Beruntung jika  dikemudian hari ada yang memungutnya, dan membuatnya jadi sangat  berharga. Dan, momentum, agaknya jadi salah satu factor penting yang  mempengaruhi elucutio. Oleh karenanya, kita mesti juga memperhatikan  momentum dalam merumuskan cara yang tepat untuk menyampaikan gagasan.
Ketiga,  Compotitio. Di istilah yang terakhir ini saya agak ragu-ragu untuk  menuliskan pengertian tentang istilahnya, yang disampaikan kang Hawe.  Namun, salah atau benar buat saya tidak jadi soal. Sebab maklum masih  belajar. Saya masih mahasiswa dan kang Hawe sudah menjadi dosen, wajar.  Haha
Menurut apa yang saya tangkap dari pembicaraan kang Hawe, compotitio  berurusan dengan form/wadah penulis menuangkan gagasannya. Misalnya  seperti yang disampaikan kang Hawe, bahwa pada buku “the Bandung  Connection”. Roeslan Abdulgani, alih-alih memakai bentuk tulisan ‘berat’ untuk  menularkan semangat /nilai-nilai yang dikonstruksi di Konfrensi  Asia-Afrika. Cak Roes malah memilih memakai bentuk tulisan ‘santai’.  Padahal, Cak Roes, jika pun harus memakai bentuk tulisan yang  mengkerutkan kening, tulisan bergaya ideolog, misalnya. Bukan suatu hal  yang sulit baginya. Sebab Roeslan, lama bergaul dengan Soekarno dan  tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Dia tentu akan mudah saja menulis dengan  gaya itu.
Dalam memilih bentuk tulisan yang akan kita  buat, tentu tidak semata-mata ditentukan oleh factor luar dari diri  kita. seperti apa yang dipaparkan oleh kang Hawe di atas. Di situ dalam  salah satu tafsir kang Hawe terhadap bentuk tulisan Roeslan, seolah-olah  dinyatakan bahwa Roeslan Abdulgani menulis menggunakan bentuk personality essay  karena alasan segmentasi pembaca yang dibidik Roeslan adalah kaum muda.  Bisa difahami, karena kaum muda biasanya dianggap susah tertarik pada  bacaan-bacaan yang ‘berat’. Maka Roeslan di situ dianggap tepat memakai bentuk tulisan yang ‘santai’, sehingga pas untuk kaum muda.
Bentuk  tulisan apa yang akan kita gunakan, ditentukan oleh factor dalam diri  kita selain factor luar tadi. Biasanya, itu menimpa pada penulis pemula  macam saya. Seringkali saya bingung saat hendak menulis. Tulisan bentuk  apa yang ingin saya buat. Tulisan berbentuk esseikah? cerpenkah? Atu  tulisan ilmiah? Mencari bentuk tulisan yang pas, agaknya itu adalah  tugas selanjutnya setelah merumuskan gagasan, bagi penulis, terutama  penulis pemula macam saya. ‘Pas’, dalam batas-batas pengertian yang saya  maksud adalah, membuat lega/nyaman hati. Sehingga kita bisa mantap  dalam bentuk-bentuk tulisan tertentu. Alhasil, tulisan kita jadi mudah  dicerna dan sederhana dalam pengungkapannya. Pada titik ini, justru  kitalah yang menentukan hendak memakai bentuk tulisan macam apa.  Tergantung kemampuan kita, sejauh mana kita menguasai bentuk tulisan  tertentu.
Dan sastera, setidaknya menurut kang Hawe.  Berurusan dengan pencarian medium kita punya kesadaran. Kesadaran, dalam  bersastera menurut dugaan saya adalah kesadaran akan ‘tidak baik-baik sajanya’  dunia ini. Dunia ini selalu senantiasa dalam keadaan berubah tidak  tetap. Jika tetap, dunia menjadi tidak layak diamati dan  dipermasalahkan. Saat kita menganggap dunia ini baik-baik saja, maka  kita jadi cenderung memilih sikap diam-mapan. Kita jadi dungu dan tidak  peduli terhadap keadaan sekitar, keadaan dunia yang tengah berubah.  Perubahan biasanya disertai situasi kacau. Dan agar tidak dilindas  perubahan, sastera menyuruh kita untuk berkarya. Berkarya adalah juga  melakukan perubahan, sebab untuk konteks tertentu berkarya adalah  mencipta sesuatu yang baru. Amanat tentang proses kreatif, bisa dicari  rujukannya pada mitologi yang dibangun oleh orang-orang terdahulu dari  belahan dunia sana (Yunani, Babilonia, dan Sumeria). Bahwasannya  terciptanya hal ihwal/ segala sesuatu yang ada di dunia ini, bermula  dari situasi chaos yang menimpa para dewa. Singkat kata, situasi chaos  situasi yang melandasi para dewa menjadi kreatif (creator).
Dari  pernyataan kang Hawe di atas yaitu tentang sastera berurusan dengan  pencarian medium kita punya kesadaran. Maka, bersastera bisa diartikan  sebagai upaya manusia menyadari dirinya tengah di mana dan terjebak pada  persoalan apa. Karya sastera menjadi cerminan diri dan lingkungan dari  orang-orang yang bersastera itu sendiri. Pada titik ini, karya sastera  adalah pantulan kenyataan individual maupun sosial yang dikonstruksi  oleh sastrawan baik lisan maupun tulisan melalui benaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar