Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Rabu, 22 Juni 2011

“the Land of Bandungia”

“the Land of Bandungia”, kalimat itu yang  berkelebat terus menerus dalam imajinasi saya, saat saya mulai berniat menuliskan apa-apa yang saya ingat berkaitan dengan pengalaman saya kemarin.

Seperti yang kang Hawe dongengkan kemarin, setidaknya, merujuk pada khazanah keilmuan Yunani klasik dalam hal ini “Aristotle’s Rethoric”. Ada tiga kata kunci yang mesti diperhatikan sebelum kita menulis (beraksi, dll).


Pertama, Inventio. Inventio adalah tentang perumusan gagasan. Menurut dugaan saya, inventio ini adalah aktifitas kita, memproduksi gagasan baru setiap waktu sesuai konteks. Tanpa perumusan gagasan (secara sadar), sepertinya, apa yang disampaikan cuma sampah. Di ranah lain, saya bisa contohkan pada segerombol aktifis yang berdemonstrasi. Berdemonstrasi namun tanpa seperangkat kesadaran yang memadai. Maksudnya, masing-masing dari mereka yang berdemonstrasi tidak memiliki landasan intelektual/landasan episteme (gagasan yang masagi). Alhasil, apa yang mereka teriakan (perjuangkan) biasanya mudah ditunggangi (dikotori). Dan selesai  sudah apa yang diteriakan, saat nasi bungkus habis dimakan atau uang amplopan habis dipakai jajan. Mereka, biasanya dipanggil dengan julukan, “Aktifis Nasi Bungkus”.

Kedua, Elocutio. Adalah cara bagaimana kita menyampaikan gagasan. Hendaknya, suatu gagasan disampaikan dengan cara yang elok, punya kekuatan mengajak, menggerakan dan memberi kenikmatan. Cara-cara kita menyampaikan gagasan penting diperhatikan. Sebab, bisa jadi jika cara yang dipakai tidak tepat, justru gagasan menjadi tidak sampai. Mengalami pembiasan dan akhirnya sia-sia. Dibuang begitu saja seperti sampah. Beruntung jika dikemudian hari ada yang memungutnya, dan membuatnya jadi sangat berharga. Dan, momentum, agaknya jadi salah satu factor penting yang mempengaruhi elucutio. Oleh karenanya, kita mesti juga memperhatikan momentum dalam merumuskan cara yang tepat untuk menyampaikan gagasan.

Ketiga, Compotitio. Di istilah yang terakhir ini saya agak ragu-ragu untuk menuliskan pengertian tentang istilahnya, yang disampaikan kang Hawe. Namun, salah atau benar buat saya tidak jadi soal. Sebab maklum masih belajar. Saya masih mahasiswa dan kang Hawe sudah menjadi dosen, wajar. Haha

Menurut apa yang saya tangkap dari pembicaraan kang Hawe, compotitio berurusan dengan form/wadah penulis menuangkan gagasannya. Misalnya seperti yang disampaikan kang Hawe, bahwa pada buku “the Bandung Connection”. Roeslan Abdulgani, alih-alih memakai bentuk tulisan ‘berat’ untuk menularkan semangat /nilai-nilai yang dikonstruksi di Konfrensi Asia-Afrika. Cak Roes malah memilih memakai bentuk tulisan ‘santai’. Padahal, Cak Roes, jika pun harus memakai bentuk tulisan yang mengkerutkan kening, tulisan bergaya ideolog, misalnya. Bukan suatu hal yang sulit baginya. Sebab Roeslan, lama bergaul dengan Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Dia tentu akan mudah saja menulis dengan gaya itu.

Dalam memilih bentuk tulisan yang akan kita buat, tentu tidak semata-mata ditentukan oleh factor luar dari diri kita. seperti apa yang dipaparkan oleh kang Hawe di atas. Di situ dalam salah satu tafsir kang Hawe terhadap bentuk tulisan Roeslan, seolah-olah dinyatakan bahwa Roeslan Abdulgani menulis menggunakan bentuk personality essay karena alasan segmentasi pembaca yang dibidik Roeslan adalah kaum muda. Bisa difahami, karena kaum muda biasanya dianggap susah tertarik pada bacaan-bacaan yang ‘berat’. Maka Roeslan di situ dianggap tepat memakai bentuk tulisan yang ‘santai’, sehingga pas untuk kaum muda.

Bentuk tulisan apa yang akan kita gunakan, ditentukan oleh factor dalam diri kita selain factor luar tadi. Biasanya, itu menimpa pada penulis pemula macam saya. Seringkali saya bingung saat hendak menulis. Tulisan bentuk apa yang ingin saya buat. Tulisan berbentuk esseikah? cerpenkah? Atu tulisan ilmiah? Mencari bentuk tulisan yang pas, agaknya itu adalah tugas selanjutnya setelah merumuskan gagasan, bagi penulis, terutama penulis pemula macam saya. ‘Pas’, dalam batas-batas pengertian yang saya maksud adalah, membuat lega/nyaman hati. Sehingga kita bisa mantap dalam bentuk-bentuk tulisan tertentu. Alhasil, tulisan kita jadi mudah dicerna dan sederhana dalam pengungkapannya. Pada titik ini, justru kitalah yang menentukan hendak memakai bentuk tulisan macam apa. Tergantung kemampuan kita, sejauh mana kita menguasai bentuk tulisan tertentu.

Dan sastera, setidaknya menurut kang Hawe. Berurusan dengan pencarian medium kita punya kesadaran. Kesadaran, dalam bersastera menurut dugaan saya adalah kesadaran akan ‘tidak baik-baik sajanya’ dunia ini. Dunia ini selalu senantiasa dalam keadaan berubah tidak tetap. Jika tetap, dunia menjadi tidak layak diamati dan dipermasalahkan. Saat kita menganggap dunia ini baik-baik saja, maka kita jadi cenderung memilih sikap diam-mapan. Kita jadi dungu dan tidak peduli terhadap keadaan sekitar, keadaan dunia yang tengah berubah. Perubahan biasanya disertai situasi kacau. Dan agar tidak dilindas perubahan, sastera menyuruh kita untuk berkarya. Berkarya adalah juga melakukan perubahan, sebab untuk konteks tertentu berkarya adalah mencipta sesuatu yang baru. Amanat tentang proses kreatif, bisa dicari rujukannya pada mitologi yang dibangun oleh orang-orang terdahulu dari belahan dunia sana (Yunani, Babilonia, dan Sumeria). Bahwasannya terciptanya hal ihwal/ segala sesuatu yang ada di dunia ini, bermula dari situasi chaos yang menimpa para dewa. Singkat kata, situasi chaos situasi yang melandasi para dewa menjadi kreatif (creator).

Dari pernyataan kang Hawe di atas yaitu tentang sastera berurusan dengan pencarian medium kita punya kesadaran. Maka, bersastera bisa diartikan sebagai upaya manusia menyadari dirinya tengah di mana dan terjebak pada persoalan apa. Karya sastera menjadi cerminan diri dan lingkungan dari orang-orang yang bersastera itu sendiri. Pada titik ini, karya sastera adalah pantulan kenyataan individual maupun sosial yang dikonstruksi oleh sastrawan baik lisan maupun tulisan melalui benaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar