oleh: Yoga HimaPercuy
“Dan ingatlah Agama apapun yang kau  peluk, kau sama sekali tidak memiliki hak untuk melukai orang lain. Atas  alasan agama apapun, Tuhan ada dan mengingat segala hal yang kita  lakukan dan pembalasannya juga nyata.” (petikan pembicaran Ayah Mey  kepada Mey dalam Naskah Drama Rajam)
Kurang  lebih seperti itu, yaitu sindiran terhadap orang-orang beragama yang  disampaikan dalam naskah drama berjudul “Rajam”. Naskah drama ini saya  peroleh dari seseorang bernama fesbuk Foltrus melalui fesbuk (yang ia  kirim pada fesbuk saya). Naskah drama ini belum kunjung saya baca  semenjak Foltrus mengirimnya pada saya. Baru kali ini saya menyempatkan  diri membacanya, dan cukup terkesan saya dibuatnya.
Setting  (tempat) dalam kisah drama berjudul “Rajam” ini berkisar di daerah  kesultanan Turki pada masa perang salib masih berkecamuk. Antara tentara  muslim melawan tentara nasrani memperebutkan kota suci Yerusalem. Jauh  dari pusat kesultanan Turki cerita dalam naskah drama ini diurai, yaitu  di suatu desa bernama Edessa.
Mey, begitu perempuan itu  dipanggil. Ayah dan ibunya tak memilih agama mana pun; Yahudi, Kristen  atau pun Islam. Rasa percaya mereka habis pada agama. Sebab agama  hanyalah alat legitimasi buat menganiaya dan menimbulkan kebinasaan.  “Segala agama seperti dipermainkan. Tuhan menjadi simbol bagi kekuasaan  di Tanah kita ini. Segala kekerasan dan penganiayaan di sahkan atas  alasan Tuhan dan Agama. Lantas, bukankah agama seharusnya menjadi bahan  perdamaian. Inilah yang membuat kami tidak percaya dan belum memilih  agama”. Begitu pernyataan Ayah Mey saat berbicang dengan Mey.
Mey  hidup di keluarga yang tak beragama, ayah dan ibunya tak memeluk agama  mana pun. Namun, ayah dan ibunya bertuhan, “Tuhan yang kusembah ada di  dalam diriku sendiri. Ia memuji segala kebaikanku dan meneror segala  keburukanku”. Ayah Mey, memandang sebagian pemuka agama bahkan tidak  mengenal Tuhannya. Mereka hanya perpanjangan tangan dari sistem yang  tengah berkuasa saja. Oleh karena itu, Ayah Mey dan Ibunya menyarankan  Mey untuk belajar ke Alexandria. Alexandria pada waktu itu adalah pusat  ilmu pengetahuan. “Kami akan mengirimmu ke Alexandria. Disana Pamanmu  Malik, akan menampungmu. Kau akan belajar disana. Membaca dan menemukan  sesuatu yang lebih berharga dari agama”.
Mey akan dikirim  ke Alexandria selain karena ia akan belajar, ia juga tengah diketahui  oleh ayahnya telah melakukan perzinahan dengan pemuda bernama Raa.  Pemuda itu adalah anak dari Kadi di Desa Edessa, pemuda itu juga akan  memimpin para mujahid bertempur melawan kaum Franj yang beragama  Nasrani, merebut Yerusallem dari kaum Franj. Raa adalah pemimpin mujahid  Desa Edessa yang kelak akan dipuja sebagai pahlawan.
Raa  beragama Islam, dan Mey beragama Nasrani. Mereka telah mengikrarkan diri  akan menikah jika Mey telah belajar kitab Injil. Sebab perkawinan  mereka akan senantiasa sah jika Mey yang beragama Nasrani mengerti kitab  Injil (menjadi ahli kitab) . Mey telah mengikrarkan diri, seandainya  Raa gugur di medan tempur, Mey tidak akan menikah dengan siapa pun.  Namun, naas semalam sebelum keberangkatan Raa. Keluarga Mey dipanggil  oleh kadi desa itu, yang tak lain adalah bapak Raa. Mey dihukum rajam  dan Raa tidak. Sebab Mey tidak mengakui Raa sebagai lelaki yang  menjinahinya di ladang Savanah. Tak ada yang tahu lelaki itu adalah Raa  kecuali Mey, dan Mey tidak mengakui itu adalah Raa. Mey diketahui  berjinah di tengah savanah di dekat pohon dedalu oleh dua orang saksi  (dua petani). Namun, kedua saksi itu tak bisa mengidentifikasi siapa  lelaki yang berjinah dengan Mey, sebab wajah lelaki itu terhalang tubuh  Mey.
Mey dihukum rajam sebab ia berada di  kawasan/kekuasaan kesultanan Turki yang menetapkan hukum Islam sebagai  hukum negara, hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara, baik yang  beragama Islam maupun non-Islam. Orang yang berbuat jinnah dikenakan  hukum rajam. Tubuhnya di kubur sampa seleher, lantas ia dilempari dengan  batu sampai mati oleh penduduk desa. Saat tubuh Mey sudah terkubur  sampai leher, Mey meminta Raa orang pertama yang melemparinya dengan  batu. Raa melempari Mey sambil menangis.
Agama  Sebagai Spirit Saling Membinasakan
Dalam Drama  Rajam ini, agama diposisikan sebagai sistem yang menindas kemanusiaan,  dan yang membutakan pemeluknya hingga pemeluknya tak memiliki cinta  kasih lagi, “Dan kota itu (Yerusallem) adalah lambang kemenangan  bagi  setiap agama yang menguasainya. Eksistensi agama, kekuasaan agama dan  segala sesuatunya adalah cerminan berapa kuat agama membutakan mereka.  Cinta kasih mereka abaikan”.
Lalu, agama itu apa? Jika  saya posisikan agama sebagai alat buat seseorang menjadi suci  sesuci-sucinya atau bejat sebejat-bejatnya, itu bukanlah sesuatu hal  yang mustahil. Sebab pada saat itu agama hanya sebagai alat saja.  Seperti halnya gergaji, bisa dipakai buat sesuatu hal yang bermanfaat  atau pun sebaliknya, bisa juga dipakai untuk membunuh. Perumpamaan yang  sangat sederhana ini kiranya bisa juga dikontekstualisasikan dalam hal  beragama.
Saya akan persempit pembicaraan agama ini hanya  pada tiga agama besar saja, yang sempat berebut kota suci Yerusallem  (atau mungkin sampai sekarang masih memperebutkannya). Baik Yahudi,  Nasrani maupun Islam ketiga agama ini adalah agama teks, yang melandasi  kebenaran mutlak ada pada teks (kitab sucinya). Ulama-ulamanya  beranggapan bahwa kebenaran dari Tuhan hanya diturunkan pada utusan-Nya;  Musa, Isa, Muhammad. Dan lalu pesan-pesan Tuhan yang diturunkan pada  utusan-Nya itu diyakini dituliskan oleh murid-muridnya. Dan pesan-pesan  yang dituliskan itu kemudian kita kenal dengan Taurat untuk Yahudi,  Injil untuk Nasrani dan Quran untuk Islam.
Harusnya ketiga  agama ‘besar’ ini menyerukan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan serta  menghargai hidup dan kehidupan. Nyatanya, ketiga agama besar ini malah  saling berebut kekuasaan dan saling membinasakan atas nama doktrin agama  di suatu kota yang mereka anggap suci. Masing-masing pihak telah  menganggap dirinya berada di jalan Tuhan. Mungkin atas dasar itu, mereka  merasa berhak membinasakan yang lain sebab masing-masing dari mereka  adalah wakil Tuhan yang bertindak sebagai hakim. Memutuskan, bahwa pihak  kamilah yang benar dan musuhlah yang bersalah.
Kesadaran  bahwa dirinyalah yang benar dan orang lain salah. Telah menyeret agama  pada lembah legitimasi buat melakukan keburukan yang sesungguhnya  keburukan itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Agama jadi alat  legitimasi buat keburukan demi keburukan yang mereka lakukan. Mereka  seperti tuhan itu sendiri, yang mencipta agama, lalu mereka menggunakan  agama sebagai alat untuk melakukan sesuatu yang salah sekalipun.  Padahal, agama diturunkan untuk menciptakan kedamaian. Saat  masing-masing orang sudah berperan sebagai tuhan, memutuskan mana yang  benar dan mana yang salah, dan merasa berhak menindak(membinasakan)  seseorang yang ia anggap salah. Dengan tidak sadar, sesungguhnya mereka  telah memberhalakan dirinya dan lupa siapa Tuhan sebenarnya. Mereka  sudah tidak lagi mengenal Tuhannya, memang mereka kenal agamanya. Namun,  agama di situ hanya sebagai sistem yang melegitimasi kepentingan  tertentu. Bukan sistem yang menghasilkan satu kemaslahatan bersama.  Tujuan beragama bukan lagi menuju Tuhan yang sebenarnya, sebab diri  mereka kini sudah menjadi tuhan itu sendiri. Kini tujuan beragama adalah  memenuhi hasrat membinasakan (menganiaya dan menyiksa) manusia-manusia  yang mereka anggap salah.
Pada batas-batas seperti itu,  agama hanyalah sistem yang memihak, misalnya memihak rezim tertentu yang  sedang berkuasa di suatu negeri. Pada saat agama dipegang oleh penguasa  suatu negeri, jangan heran jika tafsir mengenai ajaran agamanya  cenderung pro status quo dan cenderung mengafirmasi tindak-tanduk  penguasa meskipun bobrok. Sebab agama adalah salah satu alat paling  efektif meninabobokan rakyat supaya jangan berontak dan melakukan  perbaikan di negeri yang mereka diami.
Saat beragama  sebagai satu tata pola atau sistem yang diyakini benar malah  menghasilkan sesuatu yang bobrok dan rusak maka agama sebagai satu  sistem yang memiliki tujuan harus dievaluasi. Para pemeluk agama harus  melakukan reorientasi keberagamaan. Sebab ada pembiasan antara cita-cita  yang diyakini benar dengan kenyataan yang terjadi. Jangan-jangan  orang-orang beragama sudah tidak lagi menjadikah Tuhan sebagai tujuan,  melainkan sudah menjadikan dirinya sebagai tujuan. Wajar saja jika yang  terjadi adalah pemanfaatan agama sebagai alat untuk melancarkan  kepentingan-kepentingan jahatnya. Yaitu, kepentingan-kepentingan yang  malah menghasilkan sikap saling membinasakan, satu sikap tidak terpuji  jauh dari kedamaian yang dicita-citakan agama.
Unik  sekali, dalam Drama Berjudul Rajam ini, tersirat pesan bahwa jika kita  ingin mengenal Tuhan, kita harus belajar dan membaca, maka di situlah  kita akan menemukan suatu hal yang berharga ketimbang agama yaitu Tuhan.  Bagi saya, Naskah Drama Rajam ini penyegaran buat orang-orang yang  beragama. Bahwa betapa banyak orang yang beragama tapi tidak mengenal  Tuhannya. Betapa banyak orang beragama namun tujuan yang asali yaitu  Tuhan (kebaikan, kemuliaan, kedamaian/perdamaian) telah diabaikan.
- Ditulis saat mau berangkat ke Banjaran......
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar