Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Rabu, 22 Juni 2011

Cinta Kasih Seorang Nasrani (dari Naskah Drama berjudul “Rajam”)

oleh: Yoga HimaPercuy

 

“Dan ingatlah Agama apapun yang kau peluk, kau sama sekali tidak memiliki hak untuk melukai orang lain. Atas alasan agama apapun, Tuhan ada dan mengingat segala hal yang kita lakukan dan pembalasannya juga nyata.” (petikan pembicaran Ayah Mey kepada Mey dalam Naskah Drama Rajam)

Seperti halnya nasionalisme bagi sebagian orang menjadi tidak penting, saat nyanyian nasionalisme berkali-kali didengungkan tapi tidak kunjung memberi sejahtera pada rakyat suatu bangsa. Menjadi sangat wajar jika separatisme muncul dan berkembang menjadi suatu gerakan yang menentang, menjadi sangat wajar pula jika muncul fenomena berpindah kewarganegaraan. Pun agama, rasanya kurang begitu penting saat ia hanya menjadi penyebab utama kekacauan, kekerasan dan kebinasaan.

Kurang lebih seperti itu, yaitu sindiran terhadap orang-orang beragama yang disampaikan dalam naskah drama berjudul “Rajam”. Naskah drama ini saya peroleh dari seseorang bernama fesbuk Foltrus melalui fesbuk (yang ia kirim pada fesbuk saya). Naskah drama ini belum kunjung saya baca semenjak Foltrus mengirimnya pada saya. Baru kali ini saya menyempatkan diri membacanya, dan cukup terkesan saya dibuatnya.

Setting (tempat) dalam kisah drama berjudul “Rajam” ini berkisar di daerah kesultanan Turki pada masa perang salib masih berkecamuk. Antara tentara muslim melawan tentara nasrani memperebutkan kota suci Yerusalem. Jauh dari pusat kesultanan Turki cerita dalam naskah drama ini diurai, yaitu di suatu desa bernama Edessa.

Mey, begitu perempuan itu dipanggil. Ayah dan ibunya tak memilih agama mana pun; Yahudi, Kristen atau pun Islam. Rasa percaya mereka habis pada agama. Sebab agama hanyalah alat legitimasi buat menganiaya dan menimbulkan kebinasaan. “Segala agama seperti dipermainkan. Tuhan menjadi simbol bagi kekuasaan di Tanah kita ini. Segala kekerasan dan penganiayaan di sahkan atas alasan Tuhan dan Agama. Lantas, bukankah agama seharusnya menjadi bahan perdamaian. Inilah yang membuat kami tidak percaya dan belum memilih agama”. Begitu pernyataan Ayah Mey saat berbicang dengan Mey.

Mey hidup di keluarga yang tak beragama, ayah dan ibunya tak memeluk agama mana pun. Namun, ayah dan ibunya bertuhan, “Tuhan yang kusembah ada di dalam diriku sendiri. Ia memuji segala kebaikanku dan meneror segala keburukanku”. Ayah Mey, memandang sebagian pemuka agama bahkan tidak mengenal Tuhannya. Mereka hanya perpanjangan tangan dari sistem yang tengah berkuasa saja. Oleh karena itu, Ayah Mey dan Ibunya menyarankan Mey untuk belajar ke Alexandria. Alexandria pada waktu itu adalah pusat ilmu pengetahuan. “Kami akan mengirimmu ke Alexandria. Disana Pamanmu Malik, akan menampungmu. Kau akan belajar disana. Membaca dan menemukan sesuatu yang lebih berharga dari agama”.

Mey akan dikirim ke Alexandria selain karena ia akan belajar, ia juga tengah diketahui oleh ayahnya telah melakukan perzinahan dengan pemuda bernama Raa. Pemuda itu adalah anak dari Kadi di Desa Edessa, pemuda itu juga akan memimpin para mujahid bertempur melawan kaum Franj yang beragama Nasrani, merebut Yerusallem dari kaum Franj. Raa adalah pemimpin mujahid Desa Edessa yang kelak akan dipuja sebagai pahlawan.

Raa beragama Islam, dan Mey beragama Nasrani. Mereka telah mengikrarkan diri akan menikah jika Mey telah belajar kitab Injil. Sebab perkawinan mereka akan senantiasa sah jika Mey yang beragama Nasrani mengerti kitab Injil (menjadi ahli kitab) . Mey telah mengikrarkan diri, seandainya Raa gugur di medan tempur, Mey tidak akan menikah dengan siapa pun. Namun, naas semalam sebelum keberangkatan Raa. Keluarga Mey dipanggil oleh kadi desa itu, yang tak lain adalah bapak Raa. Mey dihukum rajam dan Raa tidak. Sebab Mey tidak mengakui Raa sebagai lelaki yang menjinahinya di ladang Savanah. Tak ada yang tahu lelaki itu adalah Raa kecuali Mey, dan Mey tidak mengakui itu adalah Raa. Mey diketahui berjinah di tengah savanah di dekat pohon dedalu oleh dua orang saksi (dua petani). Namun, kedua saksi itu tak bisa mengidentifikasi siapa lelaki yang berjinah dengan Mey, sebab wajah lelaki itu terhalang tubuh Mey.

Mey dihukum rajam sebab ia berada di kawasan/kekuasaan kesultanan Turki yang menetapkan hukum Islam sebagai hukum negara, hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Orang yang berbuat jinnah dikenakan hukum rajam. Tubuhnya di kubur sampa seleher, lantas ia dilempari dengan batu sampai mati oleh penduduk desa. Saat tubuh Mey sudah terkubur sampai leher, Mey meminta Raa orang pertama yang melemparinya dengan batu. Raa melempari Mey sambil menangis.

Agama Sebagai Spirit Saling Membinasakan

Dalam Drama Rajam ini, agama diposisikan sebagai sistem yang menindas kemanusiaan, dan yang membutakan pemeluknya hingga pemeluknya tak memiliki cinta kasih lagi, “Dan kota itu (Yerusallem) adalah lambang kemenangan  bagi setiap agama yang menguasainya. Eksistensi agama, kekuasaan agama dan segala sesuatunya adalah cerminan berapa kuat agama membutakan mereka. Cinta kasih mereka abaikan”.

Lalu, agama itu apa? Jika saya posisikan agama sebagai alat buat seseorang menjadi suci sesuci-sucinya atau bejat sebejat-bejatnya, itu bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Sebab pada saat itu agama hanya sebagai alat saja. Seperti halnya gergaji, bisa dipakai buat sesuatu hal yang bermanfaat atau pun sebaliknya, bisa juga dipakai untuk membunuh. Perumpamaan yang sangat sederhana ini kiranya bisa juga dikontekstualisasikan dalam hal beragama.

Saya akan persempit pembicaraan agama ini hanya pada tiga agama besar saja, yang sempat berebut kota suci Yerusallem (atau mungkin sampai sekarang masih memperebutkannya). Baik Yahudi, Nasrani maupun Islam ketiga agama ini adalah agama teks, yang melandasi kebenaran mutlak ada pada teks (kitab sucinya). Ulama-ulamanya beranggapan bahwa kebenaran dari Tuhan hanya diturunkan pada utusan-Nya; Musa, Isa, Muhammad. Dan lalu pesan-pesan Tuhan yang diturunkan pada utusan-Nya itu diyakini dituliskan oleh murid-muridnya. Dan pesan-pesan yang dituliskan itu kemudian kita kenal dengan Taurat untuk Yahudi, Injil untuk Nasrani dan Quran untuk Islam.

Harusnya ketiga agama ‘besar’ ini menyerukan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan serta menghargai hidup dan kehidupan. Nyatanya, ketiga agama besar ini malah saling berebut kekuasaan dan saling membinasakan atas nama doktrin agama di suatu kota yang mereka anggap suci. Masing-masing pihak telah menganggap dirinya berada di jalan Tuhan. Mungkin atas dasar itu, mereka merasa berhak membinasakan yang lain sebab masing-masing dari mereka adalah wakil Tuhan yang bertindak sebagai hakim. Memutuskan, bahwa pihak kamilah yang benar dan musuhlah yang bersalah.

Kesadaran bahwa dirinyalah yang benar dan orang lain salah. Telah menyeret agama pada lembah legitimasi buat melakukan keburukan yang sesungguhnya keburukan itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Agama jadi alat legitimasi buat keburukan demi keburukan yang mereka lakukan. Mereka seperti tuhan itu sendiri, yang mencipta agama, lalu mereka menggunakan agama sebagai alat untuk melakukan sesuatu yang salah sekalipun. Padahal, agama diturunkan untuk menciptakan kedamaian. Saat masing-masing orang sudah berperan sebagai tuhan, memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, dan merasa berhak menindak(membinasakan) seseorang yang ia anggap salah. Dengan tidak sadar, sesungguhnya mereka telah memberhalakan dirinya dan lupa siapa Tuhan sebenarnya. Mereka sudah tidak lagi mengenal Tuhannya, memang mereka kenal agamanya. Namun, agama di situ hanya sebagai sistem yang melegitimasi kepentingan tertentu. Bukan sistem yang menghasilkan satu kemaslahatan bersama. Tujuan beragama bukan lagi menuju Tuhan yang sebenarnya, sebab diri mereka kini sudah menjadi tuhan itu sendiri. Kini tujuan beragama adalah memenuhi hasrat membinasakan (menganiaya dan menyiksa) manusia-manusia yang mereka anggap salah.

Pada batas-batas seperti itu, agama hanyalah sistem yang memihak, misalnya memihak rezim tertentu yang sedang berkuasa di suatu negeri. Pada saat agama dipegang oleh penguasa suatu negeri, jangan heran jika tafsir mengenai ajaran agamanya cenderung pro status quo dan cenderung mengafirmasi tindak-tanduk penguasa meskipun bobrok. Sebab agama adalah salah satu alat paling efektif meninabobokan rakyat supaya jangan berontak dan melakukan perbaikan di negeri yang mereka diami.

Saat beragama sebagai satu tata pola atau sistem yang diyakini benar malah menghasilkan sesuatu yang bobrok dan rusak maka agama sebagai satu sistem yang memiliki tujuan harus dievaluasi. Para pemeluk agama harus melakukan reorientasi keberagamaan. Sebab ada pembiasan antara cita-cita yang diyakini benar dengan kenyataan yang terjadi. Jangan-jangan orang-orang beragama sudah tidak lagi menjadikah Tuhan sebagai tujuan, melainkan sudah menjadikan dirinya sebagai tujuan. Wajar saja jika yang terjadi adalah pemanfaatan agama sebagai alat untuk melancarkan kepentingan-kepentingan jahatnya. Yaitu, kepentingan-kepentingan yang malah menghasilkan sikap saling membinasakan, satu sikap tidak terpuji jauh dari kedamaian yang dicita-citakan agama.

Unik sekali, dalam Drama Berjudul Rajam ini, tersirat pesan bahwa jika kita ingin mengenal Tuhan, kita harus belajar dan membaca, maka di situlah kita akan menemukan suatu hal yang berharga ketimbang agama yaitu Tuhan. Bagi saya, Naskah Drama Rajam ini penyegaran buat orang-orang yang beragama. Bahwa betapa banyak orang yang beragama tapi tidak mengenal Tuhannya. Betapa banyak orang beragama namun tujuan yang asali yaitu Tuhan (kebaikan, kemuliaan, kedamaian/perdamaian) telah diabaikan.



  • Ditulis saat mau berangkat ke Banjaran......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar