Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Kamis, 16 Februari 2012

Jembatan Pengantar

oleh: Anisa Isti

Jalanan adalah tempat yang paling keras bagi Joy, seorang pemuda berandalan yang telah menjejaki panasnya lidah aspal selama 17 tahun lamanya. Dari jalananlah ia lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Sekeras hari yang ia lewati, baginya hidup adalah sebuah perjuangan. Tak pernah ada waktu untuk berleha-leha, karena menurutnya hanyalah manusia cengeng dan tidak berguna yang akan hidup dengan terus bersandar pada kelalaian.
Joy memang tak seberuntung pemuda lainnya; yang memiliki kesempatan untuk mencicipi indahnya surga dunia. Selain itu, iapun tak bisa memenuhi segala kebutuhannya. Begitu pula dengan haknya sebagai anak bangsa yang tidak bisa mengenyam pendidikan secara bebas. Namun Joy tak pernah mengeluh atau protes kepada Tuhan. Ia selalu berusaha menerima segala yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Namun demikian, Joypun adalah seorang manusia. Ia bagian dari jiwa bangsa. Iapun memiliki keinginan untuk belajar dan menuntut ilmu. Keterbatasannya untuk memeluk dunia pendidikan bukanlah suatu masalah baginya. Dengan sangat mudah ia menyihir semua keluhan dalam dirinya menjadi jiwa dengan semangat yang berkobar.
            Setiap hari Joy selalu pergi ke beberapa tempat bacaan, seperti toko buku atau taman bacaan lainnya. Ia berusaha menyeimbangkan kemampuannya untuk bisa mendapatkan ilmu. Tidak hanya itu, Joypun selalu pergi ke kampus-kampus untuk ikut belajar bersama mahasiswa lainnya. Tetapi semua tak semudah yang dibayangkan. Dari mulai toko buku yang kecil, sederhana hingga toko buku megah, sepertinya bukanlah tempah singgah yang tepat untuk takaran pemuda seperti Joy. Begitupun dengan sekolah-sekolah yang bagus, apalagi sekolah yang bergengsi. Bagaimana tidak, pemuda dengan pakaian lusuh, celana yang combang-cambing tak karuan, tubuh yang dekil, dan roman wajah yang menantang, tentu saja membuat satpam dan para pramuniaga cantik di dalamnya turun langsung untuk mengusirnya. Baru saja kakinya mencicipi pangkal toko buku yang mengkilat itu, satpam langsung menghadangnya dengan tongkat andalannya.
            “Hey! Kau mau kemana?” teriaknya. “Kau mau mencuri???” sambungnya menegas.
            Joy, dengan wajahnya yang lurus lalu berkata, “Saya bukan pencuri.”

            “Lalu mau apa datang kemari?” tanya satpam itu menyambung pembicaraan.

            “Saya mau belajar.”Jawab Joy tanpa menatap mata satpam itu.
 Matanya terus memandang pada buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak buku tersebut. sesekali ia alihkan pandangannya pada jajaran buku-buku terbaru yang terpampang di bagian depan rak. Namun niatnya itu lenyap ketika satpam toko mengusirnya.
            “Ini bukan sekolah, bukan juga jalanan yang bebas didatangi sembarang orang.” Ucap satpam itu dengan logat yang merendahkan.
            Joy tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun ia pemuda jalanan atau akrab dengan sosok seorang berandalan, namun sikapnya bukan seperti seorang berandalan. Ia pandai menjaga sikap. Karena menurutnya, kodrat manusia adalah untuk saling menghargai.
            Setiap hari hal serupa terjadi dengannya. Ia harus mendapatkan perlakuan tidak hormat dari orang-orang yang menganggapnya sebagai anak jalanan yang tidak beradab. Bahkan iapun harus menjumpai orang-orang yang menilainya sebagai manusia yang tidak patut berada di bumi ini.
            Joy bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Sikap yang ia terima dari orang-orang tersebut tidak lantas membuatnya putus harapan. Berkali-kali ia datang mengunjungi toko buku itu, dan hal serupapun terjadi lagi padanya. Hingga suatu hari Joy datang mengunjugi sebuah toko buku yang sangat besar. Tentu saja buku-buku bacaan didalamnya sangatlah bagus-bagus dan menarik. Joy lalu menatap pada kaca toko yang mengkilat bagai kilauan mentari di pagi hari. Namun kali ini ia tidak langsung masuk ke toko tersebut. ia yakin bahwa dia tidak akan bisa mendapat izin masuk dengan keadaannya yang seperti itu. Joy kemudian mengarahkan pandangannya ke sebuah jongko yang berjajar di sepanjang jalan dekat toko tersebut. ia menghampiri seorang pedagang jam tangan yang sedang menawarkan barangnya.
            “Mang, boleh saya pinjam kemejanya?” ucap Joy pada pedagang itu.
            “Pinjam???”
            “Iya. Saya butuh baju.” Ucapnya.
            “Buat apa?” tanya pedagang itu sambil terus menatap Joy.
            “Saya mau masuk ke toko buku itu tapi tidak mungkin dengan pakaian saya yang seperti ini.” Jawab Joy.
            “Mau apa kau kesana? Mau nyolong?” tanya pedagang itu.
            Tanpa menjawab pertanyaan kasar dari si pedagang, Joy lalu mengeluarkan uang 5rb dari saku celananya.
            “Ini buat jaminannya. Nanti saya segera kembalikan kemejanya.” Ucap Joy.
            Melihat kejujuran dari muka Joy, Pedagang itu merasa kasihan, iapun lalu memberikan kemejanya.
            “Bawa saja uangnya. Semoga kemeja ini bermanfaat,” ujarnya. “Tidak usah dikembalikan lagi. Nanti kumannya nempel di badan saya.” Sambung pedagang itu.
            “Sial, seenaknya saja pedagang itu berbicara,” ucap joy dalam hati.
            “Terima kasih mang.” Sambung Joy mengakhiri perbincangan.
            Setelah Joy mendapatkan kemeja itu, iapun lalu pergi ke Masjid di sekitar tempat itu. Ia membersihkan badan dan segera mengganti pakaiannya. Lalu iapun mengunjungi toko buku tersebut. Ternyata penampilannya mampu menipu banyak orang. Termasuk satpam yang tidak mencurigainya sama sekali. Bahkan tidak sesekali meliriknya.
            Setiap hari Joy melakukan hal yang sama. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca disana. Beberapa buku sastra menjadi pilihan utama untuk ia baca dan pelajari. Joy adalah salah seorang pemuda yang menyukai sastra. Baginya kebebasan bisa ia temui dari setiap karangan yang ia temukan di buku-buku sastra yang berbau fiksi tersebut.
            Tidak hanya sebatas berkunjung ke toko buku. Joy juga selalu menghabiskan sebagian waktunya untuk ikut belajar di kampus-kampus. Ia datang tanpa membawa tas atau buku-buku. Hal yang ia lakukan adalah masuk kelas dan duduk di salah satu kursi paling belakang. Setiap mahasiswa yang hadir menatap Joy dengan tatapan heran. Joy memanglah seseorang yang misterius. Ia bukanlah mahasiswa yang terdaftar secara resmi di universitas tersebut. Namun ia tak pernah peduli, tujuannya datang adalah untuk belajar bukan untuk meladeni prasangka-prasangka buruk dari orang-orang.
            Suatu waktu, ketika ia keluar kelas, ia melihat pada sebuah perpustakaan besar di dekat gedung besar. Ia tertarik untuk mengunjungi perpustakaan tersebut. Joypun berjalan menghampiri perpustakaan tersebut. Ketika ia masuk, hal serupa yang sering ia terima terjadi lagi. Penjaga perpustakaan itu mengusir Joy. Saat itu rupanya Joy tidak sedang mengenakan kemeja rapi yang diberikan oleh pedagang jam tangan itu. Apalagi saat itu wajahnya nampak kumel. Joy tidak lantas meninggalkan perpustakaan tersebut, ia bersikeras untuk bisa masuk ke perpustakaan itu. Beberapa kali ia merayu dan meyakinkan penjaga perpustakaan tersebut, namun tidak ada sedikitpun perhatian dari penjaga tersebut.
            Joy terus menunggu di depan perpustakaan itu, ia mencari akal supaya bisa masuk ke perpustakaan tersebut. Namun sepertinya nasib baik datang untuknya, penjaga perpus itu sejenak meninggalkan mejanya, dengan sesegera mungkin Joy masuk ke perpustakaan dan membaca beberapa buku-buku di dalamnya. Sesekali penjaga itu mengontrol keadaan dalam ruangan itu dan Joy selalu bersembunyi di bawah meja baca di ruangan tersebut.
            Hari selanjutnya sama seperti dengan hari-hari sebelumnya. Joy datang ke kelas dan mengikuti pelajaran. Namun kali ini dosen itu tidak datang sendirian, rupanya hari itu ada kunjungan dari Kementerian Pendidikan untuk melihat proses pembelajaran di setiap kelas di Universitas tersebut. Jantung Joy berdekat dengan kencang.Ia takut kalau tiba-tiba ada pemeriksaan mahasiswa. Ia berpikir kalau sampai pihak Universitas tahu, pasti ia akan ditendang dari ruangan itu.Joy berusaha menyembunyikan perasaannya.
Saat itu, pihak Kementerian meminta dosen tersebut untuk memberikan pertanyaan sekitar materi-materi yang telah diajarkannya. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana keberhasilan mahasiswa dalam menangkap materi-materi tersebut.
            Dari setiap pertanyaan yang dilontarkan dosen tersebut, tak ada satupun yang bisa menjawab. Beberapa siswa memang sempat mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaannya. Namun jawaban tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari semua mahasiswa yang berada di ruangan tersebut, hanya Joy yang mampu menaklukan semua pertanyaan dosen tersebut dengan sangat tepat.
            Seseorang dari Kementerian Pendidikan tersebut tertarik dengan semua jawaban Joy. Ia lalu menghampiri Joy,
            “Siapa namamu?” tayanya.
            “Joy.”
            Dosen tersebut berusaha menemukan nama ‘JOY’ pada buku kehadiran mahasiswa. Namun ternyata nama itu tidak terdaftar di dalamnya. Lalu Dosen itu bertanya.
            “Kau bukan mahasiswa sini bukan?” tanyannya.
            Semua orang yang berada di kelas mengarahkan pandangannya kepada Joy.
            “Yah. Saya memang bukan siswa di Universitas ini.” Saya adalah seorang anak jalanan yang ingin belajar.” Ucapnya.
            Mendengar jawaban tersebut, semua merasa kaget. Seseorangpun kembali mendekatinya.
            “Kau ingin sekolah?” tanyanya.
            “Iya. Tapi saya tidak memiliki kesempatan itu.” Jawab Joy.
“Kalau begitu, sekarang kau punya kesempatan itu.” jawab orang tersebut.
“Negara akan membiayaimu untuk bersekolah.” Sambungnya.
            Dengan tegas Joy menolak tawaran itu.
            “Tidak!” jawabnya.
            “Kenapa?” tanya orang tersebut.
            “Saya tidak akan bisa bersekolah sementara teman-teman saya masih berada di jalanan. Banting tulang mencari uang untuk makan, sementara mereka bodoh, buta huruf dan tertinggal.” Tegas Joy.
            Sejenak semuanya terdiam. Joy kemudian melanjutkan pembicaraannya.
            “Apakah seperti ini Negara kita?” tanyanya.
            “Apakah hanya mereka yang beruang yang boleh sekolah? Apakah rakyat jalan seperti kami tidak bisa merasakan menjadi manusia yang seutuhnya. Yang bisa belajar, menuntut ilmu dan pintar!?” sambungnya.
            Para menteri tersebut terdiam. Begitupun dengan dosen dan seluruh mahasiswa yang berada di ruangan itu semuanya ikut larut dalam hening.
           

            Bandung, 20-12-2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar