Halaman

Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 12 September 2011

Cerpen Aneh dari Bocah Cicak

oleh Sarah El Zohrah* pada 10 Februari 2011 jam 13:45


Celotehan saya:
   Otak kanan saya berkontraksi dahsyat setelah membaca cerpen-cerpen menggelitik milik Ahmadun Yossi Herfanda sehingga tiba-tiba melahirkan ‘bianglala’ ini. Pasti akan ada pihak-pihak yang merasa disinggung dan mengira saya mengarang cerita ini setelah tanggal 7 Februari karena itu memang benar adanya. Tapi bagi saya ini hanya fiksi biasa yang saya ciptakan di masa limit liburan sebagai salah satu cerpen ‘Kakolova’ saya. Semoga pesannya kena, bahwa cinta kadang membuat kalian buta, bisu, dan tuli, hingga mencintai tanpa memedulikan dia siapa. Namun keindahan pelangi akan tetap mengaburkan semuanya saat kalian larut dalam sihir hujan. So, let’s read it guys!
-------

Bianglala [Sarah El Zohrah]

Kastil, 09.00
   Kastil itu ditempati empat pemuda yang memiliki disparitas unik. Mereka adalah pemuda-pemuda tanpa kepala. Bagai menyambung kisah kontroversial seorang profesor ahli bioteknologi yang memindahkan fungsi otak, syaraf, dan pancaindera dari kepala, membuat hidup mereka ringan, tak ada beban pikiran, dan tanpa rasa pusing yang tidak perlu.
   Konon, kepala manusia hanyalah alat yang membuat manusia terikat oleh doktrin mengikat. Namun, sebenarnya manusia bisa melihat tanpa mata, berbicara tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, dan akhirnya berpikir tanpa kepala. Begitulah teori liar keempat pemuda tersebut yang merasa kasihan akan beban dalam kepala mereka hingga membuat mereka bertingkah seolah tidak membutuhkan kepala lagi.
   Eja, si kuncen kastil, menyimpan kepalanya di lemari kayu yang terbuat dari angelisia splensens. Sementara Banyu mengaku telah menghanyutkan kepalanya ke dalam arus ekuatorial di samudera atlantik. Berbeda dengan Lingga yang menenteng kepalanya kemana-mana seakan terkena karusi untuk menjaganya. Lain pula dengan Anthera yang sengaja meninggalkan kepalanya di kastilnya sendiri dan sudah lama tak pernah dia jamah.
   “Burung siapa itu yang ngadat?” Eja mengeluarkan suara dari dalam tubuhnya.
   Lingga sontak meraba bawah perutnya. “Kamu membicarakan burung siapa?”
   “Itu ...” Eja menunjuk ke tengah kastil yang penuh dengan aneka barang antik dan luks, disana menyembul sayap burung sebangsa columbiformes yang mengepak lemas.
   “Itu sih merpati pos!”
   “Punya Anthera mugkin.”
   “Kampretus!” Eja melemparkan surat itu dan terjatuh tepat di tubuh Anthera yang tengah tidur terlentang. “Ambil suratmu sebelum merpati itu mengotori seisi kastil.”
   “Aargh ... Sompretus!” Anthera mengibaskan surat itu dan beradaptasi dengan cahaya lentera bersemprong yang masih menyala di pagi hari.
   “Siapa, Ther?” Tanya Lingga dengan sedikit menerka. “Kekasihmu?”
   “Aruchi bukan kekasih saya tapi dia wanita saya. Cuma dia yang menerima hidup saya yang tanpa kepala ini.” Anthera menunjuk lehernya yang bebas tak menyangga apapun.
   “Ajaklah dia kesini, Ther.” Eja menoyor bahu Anthera. “Kenalkan pada kami.”
   “Banyu!” Anthera mengalihkan pandangannya pada Banyu. “Kau ajak Padma kesini juga baru saya bawa Aruchi kemari.”
   Banyu berdiri menunjuk penampilannya. “Apa saya pantas menemui Padma dengan pemampilan begini?”
   “Pantas lah!” seloroh Eja, “kau pakai sepatu tinggi dan jubah milikku. Sekalian saja pakai kepala saya sana.”
   “Tak usah. Tanpa kepala justru saya lebih candang menemui Padma.”
   Kini giliran Lingga mendapati merpati miliknya mengitari kastil. Lingga sumringah saat membaca isi surat di kaki merpati itu. Dia berdiri dan bergerak gugup.
   “Ramuan tampan mana, Ja? Saya akan menemui wanita kenalan saya.”
   "Nih!” Eja melemparkan sebotol cairan berwarna ungu ketika Lingga menggosok pakaiannya yang terkena kotoran merpati milik Anthera membuat botol itu tergeletak di lantai.
   “Jubah, jubah.” Teriaknya panik.
   Lingga mengacak-acak keranjang pakaian kotor milik Eja dan mengambil anggerka berwarna gelap yang sudah tergeletak pasrah disana. Lingga menyemprotkan ramuan pewangi ke setiap lipatan anggerka hingga kemudian berlalu.
   “Kepala kau tertinggal, Ga.” Anthera mengingatkannya.
   “Ah, apa adanya saja.” Lingga menutup pintu kastil masih dengan kegugupannya.
   “Mana ada repot bersiap begitu dibilang apa adanya.” Celoteh Eja.
   Anthera bangkit meregangkan badannya yang pegal luar biasa. “Saya juga mau pergi sekarang menjemput Aruchi.”
   “Kingkong kau dasar! Kalau mau ketemu wanita normalkan sedikit lah gayamu. Belajar tuh dari Lingga dan Banyu yang sudah bersolek setengah mampus itu.”
   Anthera nyengir bangga akan dandanannya yang hancur. “Aruchi tidak akan mengenali saya kalau saya rapi, Ja.”
   Anthera pergi meninggalkan Eja yang masih tak habis pikir. Pakaian alang yang sudah Anthera tiduri dan celana kombor selutut yang dia pakai saat latihan berkuda tadi pagi, semuanya sempurna dengan terompah di kakinya.
   “Dasar makhluk autis!” Eja meneriaki Anthera yang berlenggang tanpa kepala.

Aruchi, 10.00
   Aruchi tidak peduli pada orang yang berkeliaran di pintu gapura karena dia memang tidak memiliki mata, bagian atas mukanya rata tanpa rongga mata namun dia memiliki intuisi lain yang bisa membuatnya melihat.
   “Kemana kita sekarang?” Aruchi menyadari dandanan Anthera yang tak istimewa tapi memang tak pernah berpengaruh pada penglihatan Aruchi.
   “Ke kastil Eja saja ya.”
   “Hah? Siapa?”
   Anthera menggamit lengan Aruchi. “Nanti saya kenalkan dengan kawan-kawan saya.”
   Aruchi tidak pernah memprotes keputusan Anthera. Bagi Aruchi, cukup Anthera menerimanya tanpa teori busuk dan pertimbangan yang rumit, maka dia akan mengikutinya.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki mata.

Padma, 10.00
   Padma memandangi Banyu yang bersemuka dengannya canggung. Selalu begini di awal pertemuan, hanya perlu waktu untuk kemudian mencair dan hangat seperti biasanya.
   “Ke kastil Eja dulu ya?”
   Padma mengangguk. Dia tidak memiliki rongga mulut, bagian bawah wajahnya rata tanpa ada lekukan yang terbelah dua. Hanya orang-orang yang memahami keinginan Padma yang bisa mendengar intuisinya, dan kepada Banyu dia selalu menceritakan semuanya tanpa rahasia. Namun tidak begitu kepada Keelay, kekasihnya selama tiga tahun terakhir. Selalu ada yang tidak bisa Padma ucapkan dengan bebas. Seolah terancam dengan peribahasa ‘mulut kapuk dapat ditutup, mulut orang tidak’.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki mulut.

Gloria, 10.00
   Gloria mengusap matanya pelan. Pesta yang dia ikuti semalam membuatnya kelelahan dan kurang tidur. Namun hari ini dia sudah berjanji untuk bertemu dengan Lingga.
   “Sudah ini kita ke kastil Eja ya?”
   Gloria mengerutkan keningnya. Dia tidak memiliki rongga telinga, kedua sisi kepalanya rata tanpa ada benjolan berbentuk daun telinga. Tapi intuisinya bisa mendengarkan apa yang Lingga katakan. Dia tahu meski selalu pura-pura tak tahu bahwa Lingga telah memiliki kekasih dan Gloria akan selalu bersikap tak mendengar kenyataan itu.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki telinga.

Matahari, 12.00
   Matahari dengan mutlak mengikuti aturan main revolusi bumi, semakin siang semakin terbahak di atas ubun-ubun manusia. Tak ayal membuat makhluk yang disengatinya memompa sumbu hipotalamus dan tergesa menghasilkan peluh yang keluar dari lubang pori.
   Suasana kastil itu dirajai dengan senandung yang dinyanyikan keras dari tupai-tupai peliharaan Eja, sementara Eja pergi meninggalkan mereka dengan memakai kepalanya karena terseret aturan pertemuan dengan petinggi kastil yang lain.
   Aruchi lebih banyak diam memperhatikan. Dia harus beradaptasi dengan semuanya sebelum intuisinya benar-benar bisa melihat orang seperti apa yang ada di hadapannya.
   Padma tak kalah bingung, dia tidak mencoba berbicara sebelum benar-benar bisa menyatukan hatinya dengan orang-orang yang ada di hadapannya agar tak salah bicara.
   Sementara Gloria tak merasakan kebisingan di sekelilingnya. Dia menciptakan dunianya sendiri merapat pada Lingga.
   Susah payah Aruchi mengajak Padma bicara hingga akhirnya mereka melebur pada obrolan setali. Tak perlu bertanya mengapa Aruchi dan Padma bisa seakrab ini, intuisi mereka yang berbicara tanpa mata dan mulut membuat mereka menyatu. Namun intuisi pendengaran Gloria sulit untuk ditembus. Mungkin hanya Lingga yang bisa menaklukannya.

Hujan, 14.00
   Hujan ekuinoks turun tanpa ragu pada garis khatulistiwa. Mengundang titik air yang berjatuhan karena proses pendinginan. Memaksa ketujuh muda-mudi itu tertahan di kastil.
   Eja memasuki kastilnya dengan perasaan aneh. Ada hal lain yang bermain di otaknya, mungkin karena dia lupa melepaskan kepalanya sehingga dia berpikir dengan normal. Tentu saja ada yang janggal dengan pemandangan itu. Tiga pria tanpa kepala dengan tiga wanita yang juga memiliki keanehan. Tanpa mata, tanpa mulut, dan tanpa telinga.
   Sebelum mampu mengutarakan keheranannya, Eja buru-buru melepaskan kepalanya dan sekarang dia melihatnya dengan cara yang berbeda. Ada anomali hati di kastilnya.
   Tak mengapa, pikir Eja. Karena hati tak perlu 'kenapa'  dan selalu sukses mengenyahkan ‘logika’.

Pelangi, 16.00
   Pelangi di balik renyai hujan yang tersisa satu-satu itu mengintip dari jendela kastil. Matahari berayun semakin menghilang membuat kastil itu lebih gelap daripada waktunya.
   Aruchi tertegun mendengar suara gemercik hujan yang tersisa. Dia rindu menatap hujan yang syahdu bersama lukisan pelangi yang tersenyum mesra.
   Aku ingin selalu melihatnya tanpa batas.
   Padma berdiri dengan takjub memandangi langit dan terdorong keinginan untuk mengucapkan semuanya dengan bebas bahwa dia mencintai pelangi seutuhnya.
   Aku ingin mengatakannya dengan bebas.
   Gloria yang menatap pelangi itu tanpa bisa menikmati suara gemercik sisa hujan yang menari juga tak menghindarkan keluhannya.
   Aku ingin mendengar kesyahduannya.
   Ketiga wanita itu tak menyadari bahwa saat pelangi terbentang, dewa-dewi kayangan tengah meluncur ke bumi dan mendengarkan permintaan mereka. Pelangi itu semakin terang, bergerak mendekati tempat mereka berada. Sementara pemuda-pemuda tanpa kepala tak menyadari saat bias pelangi menyentuh wanita mereka dan melumerkan integumen wajah-wajah itu. Menciptakan bola mata pada wajah Aruchi, melekukan bibir yang indah pada wajah Padma, dan menumbuhkan sepasang telinga pada kepala Gloria.
   Saat menyadari apa yang terjadi, mereka sudah terpisah dari pria-pria tanpa kepala itu seolah itu adalah harga mati yang harus dibayar pada keajaiban yang disokong dewa-dewi kayangan. Ketiga wanita itu tertegun merasa kehilangan sesuatu yang teramat sulit untuk diutarakan. Tak mampu berbahagia dengan rongga-rongga yang secara ajaib muncul dari wajah mereka seperti warna pelangi yang mengusir hujan halau mentua.

Eja, Banyu, Lingga, dan Anthera, 17.00
   Eja, Banyu, Lingga, dan Anthera masih bermalas-malasan di kastil itu melewati revitalisasi kepala mereka. Eja merapikan rambutnya yang semakin menutupi wajah orientalnya, Banyu memainkan tupai yang tak berhenti bersenandung, Lingga sibuk mengusir merpatinya, sementara Anthera mengacak-acak rambut jabriknya sambil mengenakan baju basterop. Semuanya rumit bagi mereka saat kepala mereka terpasang rapi di tempatnya dan serta merta menyuguhkan kerumitan yang enggan diurai dari wanita mereka.
   “Kalian tahu ...” Anthera menatap matahari yang mulai beralih. “Kepala kita itu terlalu berharga untuk dinilai. Apalagi hanya untuk menjadi pertimbangan seorang wanita.”
   Mereka memandangi Anthera sekilas kemudian sibuk kembali pada aktivitas mereka. Setelah kemunculan pelangi itu mereka lebih banyak diam dan tak ingin membahasnya.
   Usai hujan bertunas pelangi. Namun bagi mereka tak perlu mengharapkan pelangi meski hujan membuat langit kelam. Terimalah hujan sewajarnya dengan rengkuhan tanganmu meski tanpa kau minta pun dia akan terjatuh di pelukanmu.
-------

Celotehan saya:
   Basi ya, cerpen saya tidak pernah keluar dari unsur romansa percintaan, maklum sajalah masih jalan delapanbelas. Nanti saya akan meminta Mr. Poem [semoga diklatmu lancar] untuk membuat satu puisi di setiap cerpen. Karena segila-gilanya saya pada menulis, saya perlu banting keringat berjam-jam untuk membuat satu puisi saja. Mengadopsi kumcer ‘Rectoverso’ yang memiliki syair lagu, maka saya ingin ada puisi di kumcer ‘Kakolova’, mungkin jadi seperti gaya kumcer-nya Lan Fang. Semoga sesumbar ini kalian sambut dengan mengamini agar saya dan Mr. Poem bisa merampungkan proyek ini sekaligus menjadi partner menulis yang akur tanpa banyak teori. Ok guys, thanks for reading. I love U all!

* Penulis berkuliah di UNPAD, jurusan keperawatan, bergiat terutama di Himi Persis PK Unpad sebagai bidang humas, lain-lainnya beliau bergiat di FLP Bandung.

Sumber: http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=10150100638213482

Tidak ada komentar:

Posting Komentar