oleh Sarah El Zohrah* pada 10 Februari 2011 jam 13:45
Celotehan saya:
   Otak
 kanan saya berkontraksi dahsyat setelah membaca cerpen-cerpen 
menggelitik milik Ahmadun Yossi Herfanda sehingga tiba-tiba melahirkan 
‘bianglala’ ini. Pasti akan ada pihak-pihak yang merasa disinggung dan 
mengira saya mengarang cerita ini setelah tanggal 7 Februari karena itu 
memang benar adanya. Tapi bagi saya ini hanya fiksi biasa yang saya 
ciptakan di masa limit liburan sebagai salah satu cerpen ‘Kakolova’ 
saya. Semoga pesannya kena, bahwa cinta kadang membuat kalian buta, 
bisu, dan tuli, hingga mencintai tanpa memedulikan dia siapa. Namun 
keindahan pelangi akan tetap mengaburkan semuanya saat kalian larut 
dalam sihir hujan. So, let’s read it guys!
-------
Kastil, 09.00
   Kastil
 itu ditempati empat pemuda yang memiliki disparitas unik. Mereka adalah
 pemuda-pemuda tanpa kepala. Bagai menyambung kisah kontroversial 
seorang profesor ahli bioteknologi yang memindahkan fungsi otak, syaraf,
 dan pancaindera dari kepala, membuat hidup mereka ringan, tak ada beban
 pikiran, dan tanpa rasa pusing yang tidak perlu.
   Konon, kepala
 manusia hanyalah alat yang membuat manusia terikat oleh doktrin 
mengikat. Namun, sebenarnya manusia bisa melihat tanpa mata, berbicara 
tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, dan akhirnya berpikir tanpa 
kepala. Begitulah teori liar keempat pemuda tersebut yang merasa kasihan
 akan beban dalam kepala mereka hingga membuat mereka bertingkah seolah 
tidak membutuhkan kepala lagi.
   Eja, si kuncen kastil, menyimpan kepalanya di lemari kayu yang terbuat dari angelisia splensens.
 Sementara Banyu mengaku telah menghanyutkan kepalanya ke dalam arus 
ekuatorial di samudera atlantik. Berbeda dengan Lingga yang menenteng 
kepalanya kemana-mana seakan terkena karusi untuk menjaganya. Lain pula 
dengan Anthera yang sengaja meninggalkan kepalanya di kastilnya sendiri 
dan sudah lama tak pernah dia jamah.
   “Burung siapa itu yang ngadat?” Eja mengeluarkan suara dari dalam tubuhnya.
   Lingga sontak meraba bawah perutnya. “Kamu membicarakan burung siapa?”
  
 “Itu ...” Eja menunjuk ke tengah kastil yang penuh dengan aneka barang 
antik dan luks, disana menyembul sayap burung sebangsa columbiformes yang mengepak lemas.
   “Itu sih merpati pos!”
   “Punya Anthera mugkin.”
  
 “Kampretus!” Eja melemparkan surat itu dan terjatuh tepat di tubuh 
Anthera yang tengah tidur terlentang. “Ambil suratmu sebelum merpati itu
 mengotori seisi kastil.”
   “Aargh ... Sompretus!” Anthera 
mengibaskan surat itu dan beradaptasi dengan cahaya lentera bersemprong 
yang masih menyala di pagi hari.
   “Siapa, Ther?” Tanya Lingga dengan sedikit menerka. “Kekasihmu?”
  
 “Aruchi bukan kekasih saya tapi dia wanita saya. Cuma dia yang menerima
 hidup saya yang tanpa kepala ini.” Anthera menunjuk lehernya yang bebas
 tak menyangga apapun.
   “Ajaklah dia kesini, Ther.” Eja menoyor bahu Anthera. “Kenalkan pada kami.”
   “Banyu!” Anthera mengalihkan pandangannya pada Banyu. “Kau ajak Padma kesini juga baru saya bawa Aruchi kemari.”
   Banyu berdiri menunjuk penampilannya. “Apa saya pantas menemui Padma dengan pemampilan begini?”
   “Pantas lah!” seloroh Eja, “kau pakai sepatu tinggi dan jubah milikku. Sekalian saja pakai kepala saya sana.”
   “Tak usah. Tanpa kepala justru saya lebih candang menemui Padma.”
  
 Kini giliran Lingga mendapati merpati miliknya mengitari kastil. Lingga
 sumringah saat membaca isi surat di kaki merpati itu. Dia berdiri dan 
bergerak gugup.
   “Ramuan tampan mana, Ja? Saya akan menemui wanita kenalan saya.”
  
 "Nih!” Eja melemparkan sebotol cairan berwarna ungu ketika Lingga 
menggosok pakaiannya yang terkena kotoran merpati milik Anthera membuat 
botol itu tergeletak di lantai.
   “Jubah, jubah.” Teriaknya panik.
  
 Lingga mengacak-acak keranjang pakaian kotor milik Eja dan mengambil 
anggerka berwarna gelap yang sudah tergeletak pasrah disana. Lingga 
menyemprotkan ramuan pewangi ke setiap lipatan anggerka hingga kemudian 
berlalu.
   “Kepala kau tertinggal, Ga.” Anthera mengingatkannya.
   “Ah, apa adanya saja.” Lingga menutup pintu kastil masih dengan kegugupannya.
   “Mana ada repot bersiap begitu dibilang apa adanya.” Celoteh Eja.
   Anthera bangkit meregangkan badannya yang pegal luar biasa. “Saya juga mau pergi sekarang menjemput Aruchi.”
  
 “Kingkong kau dasar! Kalau mau ketemu wanita normalkan sedikit lah 
gayamu. Belajar tuh dari Lingga dan Banyu yang sudah bersolek setengah 
mampus itu.”
   Anthera nyengir bangga akan dandanannya yang hancur. “Aruchi tidak akan mengenali saya kalau saya rapi, Ja.”
  
 Anthera pergi meninggalkan Eja yang masih tak habis pikir. Pakaian 
alang yang sudah Anthera tiduri dan celana kombor selutut yang dia pakai
 saat latihan berkuda tadi pagi, semuanya sempurna dengan terompah di 
kakinya.
   “Dasar makhluk autis!” Eja meneriaki Anthera yang berlenggang tanpa kepala.
Aruchi, 10.00
   Aruchi
 tidak peduli pada orang yang berkeliaran di pintu gapura karena dia 
memang tidak memiliki mata, bagian atas mukanya rata tanpa rongga mata 
namun dia memiliki intuisi lain yang bisa membuatnya melihat.
   
“Kemana kita sekarang?” Aruchi menyadari dandanan Anthera yang tak 
istimewa tapi memang tak pernah berpengaruh pada penglihatan Aruchi.
   “Ke kastil Eja saja ya.”
   “Hah? Siapa?”
   Anthera menggamit lengan Aruchi. “Nanti saya kenalkan dengan kawan-kawan saya.”
  
 Aruchi tidak pernah memprotes keputusan Anthera. Bagi Aruchi, cukup 
Anthera menerimanya tanpa teori busuk dan pertimbangan yang rumit, maka 
dia akan mengikutinya.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki mata.
Padma, 10.00
   Padma
 memandangi Banyu yang bersemuka dengannya canggung. Selalu begini di 
awal pertemuan, hanya perlu waktu untuk kemudian mencair dan hangat 
seperti biasanya.
   “Ke kastil Eja dulu ya?”
   Padma 
mengangguk. Dia tidak memiliki rongga mulut, bagian bawah wajahnya rata 
tanpa ada lekukan yang terbelah dua. Hanya orang-orang yang memahami 
keinginan Padma yang bisa mendengar intuisinya, dan kepada Banyu dia 
selalu menceritakan semuanya tanpa rahasia. Namun tidak begitu kepada 
Keelay, kekasihnya selama tiga tahun terakhir. Selalu ada yang tidak 
bisa Padma ucapkan dengan bebas. Seolah terancam dengan peribahasa 
‘mulut kapuk dapat ditutup, mulut orang tidak’.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki mulut.
Gloria, 10.00
   Gloria
 mengusap matanya pelan. Pesta yang dia ikuti semalam membuatnya 
kelelahan dan kurang tidur. Namun hari ini dia sudah berjanji untuk 
bertemu dengan Lingga.
   “Sudah ini kita ke kastil Eja ya?”
  
 Gloria mengerutkan keningnya. Dia tidak memiliki rongga telinga, kedua 
sisi kepalanya rata tanpa ada benjolan berbentuk daun telinga. Tapi 
intuisinya bisa mendengarkan apa yang Lingga katakan. Dia tahu meski 
selalu pura-pura tak tahu bahwa Lingga telah memiliki kekasih dan Gloria
 akan selalu bersikap tak mendengar kenyataan itu.
   Itulah kenapa dia tidak memiliki telinga.
Matahari, 12.00
   Matahari
 dengan mutlak mengikuti aturan main revolusi bumi, semakin siang 
semakin terbahak di atas ubun-ubun manusia. Tak ayal membuat makhluk 
yang disengatinya memompa sumbu hipotalamus dan tergesa menghasilkan 
peluh yang keluar dari lubang pori.
   Suasana kastil itu dirajai 
dengan senandung yang dinyanyikan keras dari tupai-tupai peliharaan Eja,
 sementara Eja pergi meninggalkan mereka dengan memakai kepalanya karena
 terseret aturan pertemuan dengan petinggi kastil yang lain.
   
Aruchi lebih banyak diam memperhatikan. Dia harus beradaptasi dengan 
semuanya sebelum intuisinya benar-benar bisa melihat orang seperti apa 
yang ada di hadapannya.
   Padma tak kalah bingung, dia tidak 
mencoba berbicara sebelum benar-benar bisa menyatukan hatinya dengan 
orang-orang yang ada di hadapannya agar tak salah bicara.
   Sementara Gloria tak merasakan kebisingan di sekelilingnya. Dia menciptakan dunianya sendiri merapat pada Lingga.
  
 Susah payah Aruchi mengajak Padma bicara hingga akhirnya mereka melebur
 pada obrolan setali. Tak perlu bertanya mengapa Aruchi dan Padma bisa 
seakrab ini, intuisi mereka yang berbicara tanpa mata dan mulut membuat 
mereka menyatu. Namun intuisi pendengaran Gloria sulit untuk ditembus. 
Mungkin hanya Lingga yang bisa menaklukannya.
Hujan, 14.00
   Hujan
 ekuinoks turun tanpa ragu pada garis khatulistiwa. Mengundang titik air
 yang berjatuhan karena proses pendinginan. Memaksa ketujuh muda-mudi 
itu tertahan di kastil.
   Eja memasuki kastilnya dengan perasaan 
aneh. Ada hal lain yang bermain di otaknya, mungkin karena dia lupa 
melepaskan kepalanya sehingga dia berpikir dengan normal. Tentu saja ada
 yang janggal dengan pemandangan itu. Tiga pria tanpa kepala dengan tiga
 wanita yang juga memiliki keanehan. Tanpa mata, tanpa mulut, dan tanpa 
telinga.
   Sebelum mampu mengutarakan keheranannya, Eja buru-buru
 melepaskan kepalanya dan sekarang dia melihatnya dengan cara yang 
berbeda. Ada anomali hati di kastilnya.
   Tak mengapa, pikir Eja. Karena hati tak perlu 'kenapa'  dan selalu sukses mengenyahkan ‘logika’.
Pelangi, 16.00
   Pelangi di
 balik renyai hujan yang tersisa satu-satu itu mengintip dari jendela 
kastil. Matahari berayun semakin menghilang membuat kastil itu lebih 
gelap daripada waktunya.
   Aruchi tertegun mendengar suara 
gemercik hujan yang tersisa. Dia rindu menatap hujan yang syahdu bersama
 lukisan pelangi yang tersenyum mesra.
   Aku ingin selalu melihatnya tanpa batas.
  
 Padma berdiri dengan takjub memandangi langit dan terdorong keinginan 
untuk mengucapkan semuanya dengan bebas bahwa dia mencintai pelangi 
seutuhnya.
   Aku ingin mengatakannya dengan bebas.
   Gloria yang menatap pelangi itu tanpa bisa menikmati suara gemercik sisa hujan yang menari juga tak menghindarkan keluhannya.
   Aku ingin mendengar kesyahduannya.
  
 Ketiga wanita itu tak menyadari bahwa saat pelangi terbentang, 
dewa-dewi kayangan tengah meluncur ke bumi dan mendengarkan permintaan 
mereka. Pelangi itu semakin terang, bergerak mendekati tempat mereka 
berada. Sementara pemuda-pemuda tanpa kepala tak menyadari saat bias 
pelangi menyentuh wanita mereka dan melumerkan integumen wajah-wajah 
itu. Menciptakan bola mata pada wajah Aruchi, melekukan bibir yang indah
 pada wajah Padma, dan menumbuhkan sepasang telinga pada kepala Gloria.
  
 Saat menyadari apa yang terjadi, mereka sudah terpisah dari pria-pria 
tanpa kepala itu seolah itu adalah harga mati yang harus dibayar pada 
keajaiban yang disokong dewa-dewi kayangan. Ketiga wanita itu tertegun 
merasa kehilangan sesuatu yang teramat sulit untuk diutarakan. Tak mampu
 berbahagia dengan rongga-rongga yang secara ajaib muncul dari wajah 
mereka seperti warna pelangi yang mengusir hujan halau mentua.
Eja, Banyu, Lingga, dan Anthera, 17.00
   Eja, Banyu, Lingga, dan Anthera
 masih bermalas-malasan di kastil itu melewati revitalisasi kepala 
mereka. Eja merapikan rambutnya yang semakin menutupi wajah orientalnya,
 Banyu memainkan tupai yang tak berhenti bersenandung, Lingga sibuk 
mengusir merpatinya, sementara Anthera mengacak-acak rambut jabriknya 
sambil mengenakan baju basterop. Semuanya rumit bagi mereka saat kepala 
mereka terpasang rapi di tempatnya dan serta merta menyuguhkan kerumitan
 yang enggan diurai dari wanita mereka.
   “Kalian tahu ...” 
Anthera menatap matahari yang mulai beralih. “Kepala kita itu terlalu 
berharga untuk dinilai. Apalagi hanya untuk menjadi pertimbangan seorang
 wanita.”
   Mereka memandangi Anthera sekilas kemudian sibuk 
kembali pada aktivitas mereka. Setelah kemunculan pelangi itu mereka 
lebih banyak diam dan tak ingin membahasnya.
   Usai hujan 
bertunas pelangi. Namun bagi mereka tak perlu mengharapkan pelangi meski
 hujan membuat langit kelam. Terimalah hujan sewajarnya dengan rengkuhan
 tanganmu meski tanpa kau minta pun dia akan terjatuh di pelukanmu.
-------
Celotehan saya:
  
 Basi ya, cerpen saya tidak pernah keluar dari unsur romansa percintaan,
 maklum sajalah masih jalan delapanbelas. Nanti saya akan meminta Mr. 
Poem [semoga diklatmu lancar] untuk membuat satu puisi di setiap cerpen.
 Karena segila-gilanya saya pada menulis, saya perlu banting keringat 
berjam-jam untuk membuat satu puisi saja. Mengadopsi kumcer ‘Rectoverso’
 yang memiliki syair lagu, maka saya ingin ada puisi di kumcer 
‘Kakolova’, mungkin jadi seperti gaya kumcer-nya Lan Fang. Semoga 
sesumbar ini kalian sambut dengan mengamini agar saya dan Mr. Poem bisa 
merampungkan proyek ini sekaligus menjadi partner menulis yang akur tanpa banyak teori. Ok guys, thanks for reading. I love U all!
* Penulis berkuliah di UNPAD, jurusan keperawatan, bergiat terutama di Himi Persis PK Unpad sebagai bidang humas, lain-lainnya beliau bergiat di FLP Bandung.
Sumber: http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=10150100638213482 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar