oleh: Fauzal Ihsan
-Rindu Air-
Samar-samar  bayang berkelebat di atas gunung. Menyepuh hijaunya dedaunan yang mulai  pengap dengan oksigen. Awan pun enggan meneteskan gerimis hujan. Air,  sengaja tertadah oleh gumpalan awan mendung yang kikir. Anginnya  berhembus kencang sampai masuk rongga-rongga stomata di ujung pohon.  Reranting menari-nari dengan santun, diorkestrai oleh kicau burung.  Suaranya memecah kesunyian hutan, tapi hanya sayup-sayup terdengar oleh  manusia di bawah sana. Ada kegemburan di tanah, yang mulai memintal  berbagai pupuk alam serta menyumbat saluran air yang ingin merembes ke  inti bumi. Alangkah saktinya tanah gembur itu, menahan air yang turun  beberapa bulan ke belakang . Padahal air berminat untuk menyusupi tanah,  dan ingin semayam di inti bumi. Ingin  memberikan kesejukan pada inti  magma yang bertensi tinggi. Setiap tahun, inti magma bernafsu ingin  keluar jadi lava yang mengoyak perusahaan yang sengaja mengeksploitasi  alam.
Nun jauh disana, dimana tanah tak semua gembur.  Menyisakan ringsekan dan pecah-pecah pada permukaannya. Gersang yang  mulai menggontai di sebagian tanah kota, menyusuri setiap ranah yang tak  penuh dengan pepohonan. Tanah menghimpun warna kelam, coklat agak legam  berganti rupa jadi coklat pucat yang semburat dengan berbagai cacat,  sebab tiada kegemburannya.
Kini alam mual dengan  perbincangan manusia sebagai pleidoi. Mereka sudah serasa apik memberi  alih-alih yang begitu tertib seperti dalil para advokat. Pun, alibi  cantik menukik yang ditujukan untuk keberhargaannya. Sasarannya adalah  alam, yang mulai kehilangan siluet hijaunya, mulai rubah arti dengan  nilai bangunan, kendaraan, dan apapun itu yang selalu menghasilkan asap  pengap. Cerobongnya bisa saja di perusahaan, pabrik-pabrik, knalpot,  ataupun bom-bom yang diledakan terroris. Mereka sekarang mendengus bau  kotoran dan taik-taik yang dikeluarkan oleh produknya sendiri. Yang  satir, tanpa expired dan sertifikat halal dari MUI, asap-asap bergaul  bebas dengan oksigen.
Sepintas lalu, sering tayang dan  terngiang di media televisi jutaan kubik kayu ditebang tanpa permisi.  Akar-akar pohon yang dulu kuat manampung air hujan kala kemarau, kini  sudah kelebihan beban. Ada yang sengaja membiarkan – ketika musim hujan –  tempatnya ringsut dan rikuh oleh banjir. Ada pula yang mendamba minum  karena dahaga yang amat sangat menerpa kala kemarau tiba. O alam,  rupanya kau membiarkan diri diperkosa oleh ketamakan manusia. Sesampai  kini manusia sudah tahu rasa. Kini alam telah rapuh dan lapuk usia,  sedangkan mereka tak beranak pinak, tak seperti manusia yang  bercucu-cicit, memunculkan ide brilian untuk memberi keuntungan dirinya  lewat alam. Terus saja ditebang tanpa ada halang rintang, tapi  menanamnya saja malas.
Sekarang, kemarau telah hadir.  Menguntit di alam Indosesia sedari subur. Menunggu bangunan menjulang  bak pohon beringin dalam pandangan semut. Menyiasati pepohonan supaya  langka dan jarang. Memberi kesempatan untuk sampah yang bergunduk ria di  saluran kali, sampai hitam, sampai tak sedap dicium karena bercampur  dengan nanah pabrik. Setelah manusia tak sadar  akan gunanya alam. Juga,  tak ada keinginan untuk menanam satu batang pohon saja. Barulah kemarau  tiba. Dengan kegagahanya, kemaraupun sombong telah membuat mekar-mekar  kulit manusia, mengurangi persediaan air, atau merontokan daun-daun  pohon yang jarang itu di kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar